Batagak Tunggak Tuo

Tunggak Tuo yang telah berdiri gagah.

Sebenarnya saya sudah lama ingin menulis catatan ini, namun apa daya, karena kesibukan (sok sibuk) dan waktu terbatas, serta (paling utama) mood menulis yang naik turun, membuat catatan ini terus tertunda.
Catatan kali ini lagi-lagi ga berjauhan tentang acara peliputan lapangan atau bahasa kerennya, Journalist on Duty (cieheee).
Hari Minggu yang cerah kala itu, tanggal 1 Februari 2015, saya dan tim surat kabar tempat saya bekerja kembali terjun ke lapangan. Kali ini daerah liputan kami cukup jauh dari Kota Bukittinggi (tempat kantor berada), yaitu di di Nagari  Sumpua Kecamatan Batipuah Selatan Kabupaten Tanah Datar Provinsi Sumatera Barat. Nagari ini cukup dekat dengan salah satu objek wisata terkenal di Sumatera Barat, Danau Singkarak.
Bagi pecinta film Indonesia, mungkin kata ‘Batipuah’ cukup akrab di telinga, ya Batipuah diceritakan dalam salah satu film terbaik sepanjang masa Indonesia, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, yang dirilis pada 2013 lalu. Batipuah dalam film tersebut merupakan kampung asal Hayati dan tempat pertama kalinya tokoh utama Zainuddin dengan cinta sejatinya Hayati bertemu. Tak lupa beberapa kilometer dari nagari ini, ke arah Padang Panjang ada pula jalan menikung menanjak, yang (bisa jadi) merupakan scene legendaris Hayati berjanji akan menunggu Zainuddin di dalam novel. Terlepas dari kisah roman super; Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, Nagari Sumpua sesungguhnya menyimpan segudang potensi menarik, terutama sebagai daerah wisata sejarah dan budaya.

Nagari Sumpua, memiliki sekitar 68 rumah gadang tua. Usia bangunan-bangunan tersebut katanya ada yang sudah 2 abad, tapi masih berdiri kokoh. Bisa jadi daerah kaya rumah gadang ini menjadi inspirasi cendekiawan Minangkabau Buya Hamka untuk menelurkan adikarya Tenggelamnya Kapa Van Der Wijk-nya tersebut. Alam Sumpua yang hijau, dirindangi daun-daun pepohonan berselip puncak-puncak gonjong rumah gadang. Ditambah hamparan permadani padi menguning, dilatari perbukitan berbaris megah, akan membuat siapapun seolah kembali ke zaman dahulu. Tak hanya itu, adat istiadat dan aturan di nagari ini juga masih mempertahankan adat lama bentukan dari nenek moyang mereka yang rumit dan konservatif. Nagari Sumpua juga sudah sejak beberapa waktu lalu dijadikan sebagai Desa Wisata oleh Pemkab Tanah Datar. Nagari ini mengandalkan benda peninggalan masa lalu yaitu tentu saja deretan rumah gadang tuanya. Nagari Sumpua menjadi 1 dari 3 Nagari yang memiliki konsentrasi rumah gadang terbanyak di Sumatera Barat.
Lalu, peliputan apa yang akan saya dan tim surat kabar saya akan hendak lakukan? Nama kegiatan yang akan kami liput adalah sebuah kegiatan super langka bernama ‘Batagak Tunggak Tuo’. Batagak Tunggak Tuo di Nagari Sumpua ini diinisiasi karena terbakarnya 6 rumah gadang tua yang berada di nagari permai ini pada 2013.

Apa itu Batagak Tunggak Tuo?
Merupakan ritual masyarakat Minangkabau tradisional yang sudah ada sejak lama (tidak diketahui secara pasti kapan awal mula tradisi ini lahir, mungkin saja sebelum masuknya agama ke Minangkabau), Batagak Tunggak Tuo bisa diartikan  mendirikan sebuah rumah. Rumah yang didirikan tentu saja Rumah Gadang etnis Minangkabau, dengan identitas gonjong dan arsitekturnya yang khas.

Prosesi Panjang
Tak pernah terpikir bagi saya yang masih berkepala 2 ini (masih muda dan imut kok, uhuuk achiiem!), bagaimana cara masyarakat kami dahulu mendirikan sebuah Rumah Gadang. Rumah nan sangat besar dengan arsitektur indah itu, tanpa menggunakan paku untuk menyambung antar balok-balok kayunya itu, tanpa fondasi itu dan ramah terhadap gempa itu—di dasar tiang-tiang Rumah Gadang hanya beralas batu pipih besar, membuatnya mampu meredam gempa dengan efektif. Ya, tidak pernah terbayangkan, sekaligus seumur hidup belum pernah melihatnya ataupun mendengarkan orang-orang menceritakannnya.
Di dalam benak saya, Batagak Tunggak Tuo adalah menegakkan sebuah tonggak besar sebagai tiang utama rumah gadang, yang nantinya akan berada tepat di tengah-tengah bangunan rumah apabila keseluruhan bangunan telah selesai dikerjakan. Proses ini juga merupakan simbol awal pembangunan rumah gadang. Namun itu hanya perkiraan awal saja. Oleh karena perkiraan belum pasti inilah, saya menjadi semangat dan ingin sekali menyaksikan bagaimana sebenarnya bentuk ritual etnik ini.
Back to main topic, memasuki Nagari Sumpua, kami disambut oleh deretan rumah-rumah gadang nan agung itu. Beberapa tampak sekali kesan ‘lama’, sementara sebagian kecil nampak kesan ‘baru’ karena sudah direnovasi. Setiba di lokasi acara, saya melihat sebuah rumah gadang baru, yang di seberangnya adalah bekas area salah satu rumah gadang lama yang terbakar. Terdapat material-material kayu di area tersebut. Saya tidak melihat sebuah tiang/tunggak kayu besar yang akan ditegakkan, seperti perkiraan sebelumnya. Hanya melihat beberapa tiang kayu (kalau tidak salah 5 tiang) yang telah terangkai, dan tergeletak. Lalu ada semacam gawang yang sangat tinggi (mungkin 7-8 meter) terbuat dari bambu yang berdiri di dekat 5 tiang terangkai tadi. Agak bertanya juga, apakah gawang dari bambu itu sebenarnya yang tunggak tuo?


Gawang dari bambu

Lanskap Lolasi 'BatagakTunggak Tuo'.Rangkaian kayu di sebelah kiri bawah afalah Tunggak Tuo

Melintasi area tersebut, saya tiba di sebelah rumah gadang baru, yang selesai dibangun pada 2014. Di sana dilakukan registrasi dan pendaftaran wartawan yang meliput. Dari daftar tersebut saya melihat nama beberapa media nasional tercantum; seperti K*mpas dan T*mpo, juga ada media luar negri N*tional G*ographic. Sedikit terkejut ada media luar negri yang juga mendokumentasikan budaya Minangkabau ini. Kelar registrasi, tak jauh dari situ saya menuju bagian panggung, di mana saat itu pejabat daerah sedang memberikan sambutannya. Di kursi-kursi tamu, ternyata beberapa tokoh nasional tampak hadir, beberapa bule berpakaian rapi juga terlihat, dan juga ada sebagian orang berwajah oriental (mungkin dari Jepang, mungkin). Luar biasa sekali, ternyata kegiatan ‘Baralek Gadang’ ini menarik minat pihak asing. Artinya kearifan budaya Minangkabau satu ini bukan lagi bersifat lokal.


Ninik Mamak Nagari Sumpua
Bundo Kanduang Nagari Sumpua dengan pakaian adat khasnya

Sebelumnya, saya sudah mengumpulkan sedikit informasi mengenai prosesi Batagak Tunggak Tuo ini, ritual ini terdiri dari beberapa rangkaian :
1). Mufakat Awal: Dimulai dengan rapat keluarga, kaum, jurai, lalu suku. Jika pembangunan rumah gadang disetujui, dari rapat tersebut akan ditentukan letaknya, ukuran dan kapan rumah akan dibangun. Hasil musyawarah akan dibawa ke penghulu untuk dibahas dengan penghulu-penghulu yang lain.
2). Maelo Kayu atau Menarik Kayu: Kegiatan mencari bahan (kayu) yang dibutuhkan dalam pembangunan rumah gadang.
3). Mancetak Tunggak Tuo: Mengelola kayu, yang telah ditebang dan dibawa (dielo) ke kampung, untuk menjadi tonggak dan merangkai tunggal tuo dengan tiang-tiang penyangga. *Info ini saya dapat sesudah liputan
4) Batagak Tunggak Tuo: Dilakukan setelah kegiatan merangkai tonggak tuo selesai dilakukan dan selanjutnya akan didirikan. *Info ini saya dapat sesudah liputan
5) Manaik-an Kudo-Kudo: Menaikkan kuda-kuda rumah. *Info ini saya dapat sesudah liputan
6) Manaiki Rumah: Acara terakhir dari upacara batagak rumah. *Info ini saya dapat sesudah liputan
Jadi, acara yang saya liput adalah prosesi keempat dari keseluruhan prosesi Batagak Tunggak Tuo. Hari sebelumnya, Sabtu tanggal 31 Januari, telah dilaksanakan 3 prosesi awal.


Ninik Mamak sedang Bapasambahan

Selesai acara pidato-pidatoan, maka acara dilanjutkan dengan ‘Bapasambahan’ (rapat dengan cara berbalas kata petatah-petitih) antar ninik mamak (petinggi adat). Kemudian, barulah acara Batagak Tunggak Tuo dilaksanakan. Para tamu undangan dan masyarakat yang berada di panggung bergerak menuju area bekas rumah gadang lama terbakar tadi, tempat sebuah tiang bambu tinggi dan beberapa tonggak kayu terangkai berada.
Berbeda dengan awal pembangunan rumah biasa, yang mana pengerjaan pertama adalah membuat fondasi, pengerjaan awal rumah gadang adalah mendirikan tiangnya terlebih dahulu. Setelah tiang berdiri, kemudian baru dikerjakan bagian-bagian lain (dinding, lantai dan atap).
Saat prosesi Batagak Tunggak Tuo dimulai, di sinilah beberapa perkiraan awal saya teryata tidak tepat. Batagak Tunggak Tuo bukan menegakkan sebuah tonggak/tiang tunggal, tetapi beberapa tiang yang telah terangkai. Dan tunggak Tuo tersebut adalah tiang-tiang terangkai tergeletak di area rumah gadang terbakar itu. Sementara gawang bambu tinggi yang ada didekatnya berguna sebagai media (yang nantinya akan dilewati tali dan rantai) untuk membantu menderek tiang-tiang tadi agar berdiri tegak.
Prosesi 'Batagak Tunggak Tuo' dimulai. Tampak para relawan di bagian bawah sedang mengangkat Tunggak Tuo, sementara di seberangnya bersiap-siap menarik.

Sungguh, menegakkan tunggak tuo bukan perkara mudah. Delapan orang mengangkat ujung-ujung tunggak tuo (satu balok tiang menurut penuturan mempunyai berat 150-400 kg). Mengganjalnya dengan kayu yang ukurannya lebih kecil. Tunggak tuo terus terangkat, kemiringannya 20 derajat dari permukaan tanah. Di sisi seberang, seseorang menarik derek, yang talinya melalui gawang bambu, agar kayu sedikit demi sedikit mulai terangkat. Beruntung, cuaca sedikit mendukung.
Tunggak Tuo sedang diganjal karena terlalu berat danmelelahkan mengangkatnya.

Semakin banyak orang yang membantu agar tunggak tuo terus terangkat. Kali ini sekitar 15 orang mulai memegangi tunggak tuo. Beberapa di antaranya mengganjalnya dengan balok kayu yang panjang. Derek pun terus ditarik. Semakin tinggi ujung tunggak tuo terangkat. Para relawan lebih memilih untuk menjaga agar balok kayu penyangga, supaya tak jatuh atau terlepas dari tunggak tuo. Di kemiringan kayu 45 derajat, relawan lain yang berada di sisi seberang mencoba beramai-ramai menarik tali yang terikat di ujung tunggak tuo. Mereka ingin mencoba menggantikan peran derek. Namun, sayangnya, sekitar 10 orang yang menarik tali tak berhasil menggerakkan lima tiang tunggak tuo.
Tunggak Tuo berada di kemiringan sekitar 45 derajat

Prosesi pengangkatan sempat terhenti selama beberapa lama. Para pengangkat merasa sisi kanan dan kiri tunggak tuo tidak sama berat. Sejumlah balok kayu panjang akhirnya digunakan untuk membuat semua sisi sama berat. Pengangkatan kembali dilanjutkan menggunakan derek. Pelan-pelan tunggak tuo kembali terangkat. Semakin tinggi. Dan semakin tinggi lagi.
Sedikit demi sedikit para relawan yang menyangga kayu semakin mendorong maju. Tunggak tuo semakin tegak berdiri. Bisa dibayangkan, apabila terjadi sedikit saja kesalahan Tunggak Tuo akan ambruk dan bisa menimpa/menciderai relawan, cukup ngeri.
Di kemiringan 60 derajat, tak hanya derek yang bekerja. Para relawan lain mencoba kembali menarik tali yang sudah diikat ke tonggak tuo.
Tunggak Tuo hampir berdiri tegak

Semua relawan semakin bersemangat. Semakin tegak dan semakin tegak lagi. Tak sia-sia waktu satu setengah jam, prosesi batagak tunggak tuo berjalan dengan lancar. Para tamu undangan, warga sekitar dan relawan bertepuk tangan menyambut suksesnya batagak tunggak tuo. Tak terkecuali saya, saya merasa bangga dapat menyaksikan langsung salah satu peristiwa monumental dari akar budaya saya sendiri, Minangkabau.

Akhirnya Tunggak Tuo berdiri tegak, diiringi tepuk tangan penonton.
Setidaknya sedikit tergambar, beginilah praktik awal masyarakat kami dahulu membangun sebuah rumah gadang. Betapa handal dan ahlinya orang-orang kami dahulu. Dengan teknologi sederhana namun mereka bisa mengkaji dan melakukan perhitungan matang. Hanya bermodalkan kerjasama tanpa bantuan alat-alat atau mesin canggih, sebuah bangunan dengan arsitektur indah akan tercipta. Sekaligus mempertimbangkan kondisi alam dan geografis kami yang sering dilanda gempa. Sungguh luar biasa. Ditambah pula ritual ini sangat menuntut nilai gotong royong tinggi sejak awal hingga akhir prosesi, dan ternyata relawan-relawan yang ikut bekerja mengangkat Tunggak Tuo tadi tidak dibayar sama sekali. Mereka hanyalah warga sekitar yang membantu warga lain yang membangun rumah. Bendera merah putih pun berkibar di ujung tunggak tuo.

Susahnya Membangun Rumah Gadang
Namun, dari info yang saya dapat, membangun rumah gadang di era modern ternyata membentur sederet kendala. Mulai kayu yang mahal dan jumlahnya yang sangat sedikit. Kayu yang diperlukan untuk membuat rumah gadang yang bagus menggunakan kayu jua dan kayu bayua. Jenis kayu ini tak banyak lagi didapat di pasaran. Belum lagi amat sedikit tukang senior yang tahu benar cara membuat rumah gadang seperti yang seharusnya. Dalam proses pembangunannya begitu banyak perdebatan terjadi.
Tukang yang memimpin prosesi Batagak Tunggak Tuo yang saya liput pun sebelumnya baru 2 kali melaksanakan batagak tunggak tuo dan membangunan rumah gadang secara utuh (pertama tahun 2014 dan kedua pada 2015), karena sebelumnya ia hanyalah tukang yang mereparasi bagian-bagian rumah gadang, bukan seorang yang pandai/berpengalaman mendirikan rumah gadang.
Ternyata pengetahuan teknologi yang kaya di balik pembuatan rumah tradisional itu sebagian besar sudah lama terkubur. Misalnya, pengawetan kayu dan bambu dengan cara direndam. Kenapa tidak boleh dikeringkan dulu? Tidak ada pengetahuan yang absolut.
Inilah yang menjadi tugas masyarakat kami untuk memperdalam dan terus menggali pengetahuan bagaimana cara dan teknologi sebenarnya dari mendirikan Rumah Gadang. Lalu mewariskannya kepada generasi selanjutnya, agar menjadi tradisi yang terus berlanjut dan tidak punah ditelan zaman.

Bonusss...


Tackey
Surau Ujuang
Juli 2015

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Prompt #71: Her

Prompt #71: This Journey With You