Prompt #71: Her

Cerita di  bawah adalah sambungan cerita pertama yang dapat dibaca di sini. Mungkin cerita ini tidak sebagus cerita pertamanya (sudah tentu, sebab cerita pertama dibikin oleh orang yang ahli, sementara cerita di bawah yang bikin masih newbie, hehe). Walau demikian, semoga pembaca tetap berkenan dengan cerita ini
-----------------


Aku berjalan keluar rumah sakit menuju mobil. Aku cukup senang akhirnya program terapiku tuntas. Ya, 3 tahun lalu aku mengalami kecelakaan maut dengan Liz. Entah bagaimana aku bisa selamat dan tersangkut di dahan sebuah pohon lereng jurang. Warga setempat menyelamatkanku. 2 tahun aku koma. Sium dari koma, seluruh tubuhku lumpuh total. Aku harus menjalani terapi setahun lamanya guna melatih kembali otot-otot tubuh agar kembali normal. Memang sulit. Sekarang, aku mulai bisa beraktifitas lagi, hanya saja aku masih terkendala untuk berjalan atau berari. Terasa berat seolah aku mendaki bukit terjal setiap melangkah.

5 tahun kemudian

Aku turun dari mobil setelah masuk pekarangan rumah, malam yang kelam menyambut suram. Sebagai fotografer, rutinitasku sudah kembali. Tubuhku lambat laun sembuh sediakala. Kendati berjalan, berlari atau mengangkat tubuh dari tidur masih menyiksa. Namun, aku menerima anugrah kecacatan tersebut.
Masuk rumah, aku langsung ke studio di dalam. Kutaruh tas ransel di atas meja. Lensa-lensa kukeluarkan dari ransel dan meletakkannya di bawah meja. Tanganku menyenggol sebuah kardus di kolong dan si kardus ambruk. Isinya berserakan.
“foto lama,” gumamku menyaksikan benda-benda yang bertebaran itu. Kupungut satu persatu. Saat berjongkok pundakku terasa linu. Hal biasa sejak terapi.
Foto-foto terkumpul, benda-benda ini membuatku bernostalgia. Aku tertegun melihat foto-foto bersama dengan Liz dulu. Terutama foto kami berdua di mobil kap terbuka kesayanganku. Yang aku take dari belakang beberapa hari sebelum kecelakaan maut. Foto itu indah sekali, bernuansa pedesaan hijau dengan latar perbukitan.
Namun, pada sebuah foto, yaitu foto bersama perpisahanku dengan tim terapi rumah sakit. Ada suatu keanehan. Entah kenapa aku baru menyadari sekarang. Ada semacam blur atau bias di foto itu. Membuatku penasaran. Kutatap lebih teliti. Bias di atas pundakku itu berwarna seperti asap, bentuknya seperti sesosok berjubah putih panjang, rambutnya sebahu, setengah wajahnya tertutup rambut, sebelah matanya melotot mengerikan. Aku terkesiap. Aku tahu tatapan itu.

Liz

--------------
297 kata

Komentar

  1. Waaaahhh...syereeem! Liz-nya ga rela ya si Hans msh hidup hihihihi.

    Terima kasih ya Takim sudah berkenan meneruskan cerita :) Keep writing..

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehe.. makasih mbak.. iya, harus... emang kepengen jadi penulis... tapi jalan masih jauh... *mandang langit yang biru* *angin berembus sepoi-sepoi*

      Hapus
  2. Aah, kan hantunya cuma bisa nebeng nampang di foto. Selama sekian tahun juga baru berhasil sekali. Hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. eheheheh... wah, kayaknya saya masih kurang baik menjabarkan ide utamanya ya, mas Attar... harus banyak deskripsi n clue lagi kayaknya... maksudnya ga cuma nebeng di foto, tapi juga nebeng/nangkring di pundaknya si Hans sejak kecelakaan itu... sehingga si Hans selalu merasa kesulitan bila berjalan, berlari, ataupun bangun dari tidur... pundaknya sering linu juga... karena harus menangggung beban si hantu... ini inspirasinya dari film horror Thailand, Shutter judulnya, keluaran 2004... gitchu... ^^

      Hapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Batagak Tunggak Tuo

Prompt #71: This Journey With You