Pahlawan, Tak Terkenal

Beberapa waktu menjelang peringatan HUT kemerdekaan RI ke-69 kemarin, saya dan pemred sempat melakukan diskusi di kantor. Diskusi lumayan seru ini membahas seputar bahan berita untuk mengangkat kisah para veteran Kota Bukittinggi pada masa perang kemerdekaan. Walau sedikit meragukan apakah para veteran 45 ini masih ada yang hidup atau tidak, tetapi berita bertema veteran tetap dicanangkan.
Maka sebelum tanggal 17 Agustus kami memulai observasi sosok tokoh pejuang di Kota Bukittinggi. Awalnya target utama adalah Markas Veteran Bukittinggi, yang berada di dekat RSI Yarsi. Namun ternyata bangunan Markas Veteran tersebut sudah dihancurkan, sayang sekali. Kemudian kami terus mengumpulkan informasi, dan didapatlah informasi Yayasan Veteran Cacat di daerah Tarok.
Tak ingin menyia-nyiakan waktu, kami segera kesana. Setiba di sana, terdapat sebuah bangunan cukup besar milik yayasan. Saya langsung terkagum dengan bentuk bangunan tempat menampung para veteran yang cacat tersebut yang masih mempertahankan gaya arsitektur peninggalan kolonial. Pintu masuknya berdaun besar.
Masuk ke dalam, kami tiba di sebuah lorong pendek berukuran 2,5 x 1,5 m dengan loteng tinggi. Di ujung lorong ada lagi pintu dua daun, lantainya dihiasi keramik bermotif unik dan antik. Saya yakin keramik seperti itu tidak akan dapat ditemukan lagi sekarang. Di sana kami bertemu seorang anak perempuan berumur sekitar 10 tahunan, ketika kami menanyakan pengelola yayasan, ia menyuruh kami menunggu dan berlari ke ruang tengah. Kami menunggu dengan tenang di ruang kecil tersebut. Karena begitu tertarik dengan pintu berdaun 2 di ruangan tersebut, saya coba meraba-rabanya. Terasa dingin dan kokoh, awalnya saya mengira daun pintu tersebut terbuat dari besi. Setelah diketuk-ketuk sedikit, terdengar bunyi khas kayu dipukul. Kuat dugaan, mungkin inilah kayu yang dulu saya pernah dengar dari orang-orang tua dikenal sebagai ‘kayu basi’ (kayu besi). Konon tipe kayu ini adalah bahan utama untuk membuat sebuah rumah gadang. Dan memang benar adanya apa yang dikatakan cerita tersebut, kayu ini betul-betul keras laksana besi, dan saya juga yakin kayu ini akan sulit dimakan rayap.
Lama memperhatikan ruangan ini, keluarlah seorang nenek uzur namun nampak masih bugar dari ruang tengah. Ternyata beliau merupakan istri dari salah satu veteran.
“Bapak sudah tidak ada,” begitu beliau menjawab pertanyaan kami, “di sini yang tinggal hanya keluarga, para veteran semua sudah tiada,” lanjut beliau.
Kami tercenung. Ternyata apa yang kami ragukan sebelumnya benar, sudah tidak ada veteran 45 Kota Bukittinggi yang masih hidup. Ya, jika dirunut, taruh saja pada tahun1945 usia para veteran tersebut paling muda 20 tahun, maka untuk saat ini (2014) tentu usia mereka sudah 89 tahun. Tentu sulit mencari orang tua yang berada di usia tersebut. Apalagi di Indonesia dengan usia rataan hidup penduduknya (kalau tidak salah) ada di angka 55 tahun.
Kami pulang membawa kekecewaan.

***
Minggu pagi tanggal 17 Agustus, di Lapangan Kodim 0304/Agam atau yang lebih dikenal dengan Lapangan Kantin Bukittinggi, dilaksanakanlah upacara penaikan bendera yang dipimpin langsung oleh Walikota Bukittinggi. Saya melakukan liputan pada acara ini. Berdiri di dekat panggung komandan upacara, tempat Walikota memimpin proses penaikan bendera, saya beberapa kali mengawasi panggung tinggi tersebut sembari mengamati dengan teliti barisan para veteran yang duduk di bangku-bangku bagian belakang yang satu tempat dengan bangku Walikota. Namun, saya melihat bapak-bapak paruh baya sekitaran umur 60 sampai 70-an. Mereka memang veteran, tapi rasanya bukan veteran 45 melawan Belanda. Mungkin veteran dalam Operasi Pembebasan Irian dan Operasi Ganyang Malaysia dekade 60-an atau Operasi Pembebasan Timor Timur tahun 1975. Saya kembali kecewa, ditambah pula usai acara langsung mengikuti rombongan Walikota memberi remisi kepada narapidana di Biaro tanpa sempat mewawancarai veteran-veteran yang bukan angkatan 45 tadi.

***
Senin pagi tanggal 18 Agustus, di Jalan Sudirman di depan Stasiun Lama Bukittinggi, saya kembali terjun ke lapangan meliput kegiatan pawai alegoris pembangunan Kota Bukittinggi sekaligus memperingati hari kemerdekaan Indonesia. Pada kegiatan satu ini, apa yang saya ragukan sebelumnya ternyata salah. Sesaat usai iring-iringan marching band pasukan TNI Payakumbuh melakukan show-off di depan Walikota Bukittinggi yang berada di panggung kehormatan. Muncul seorang kakek tua nan begitu sepuh, sembari dipapah beliau berjalan beringsut dan terbungkuk menggunakan tongkat, menuju panggung kehormatan. Kakek berpeci ini membuat jantung saya berdegup kencang karena melihat pakaian batik coklat yang dikenakannya bermotif GARUDA dengan tulisan ANGKATAN 45 disertai bintang jasa. Sudah jelas hal itu menandakan beliau adalah salah satu pejuang kemerdekaan dari Kota Bukittinggi, yang masih hidup. Walikota Bukittinggi pun tampak ikut membantu kakek ini naik pentas tempat Walikota dan jajaran Kepala SKPD duduk bersama menikmati acara pawai. Pejuang tua satu ini rupanya adalah undangan acara.
Melihat si kakek,semangat ini kembali bergelora, saya menjadi tak sabar ingin segera mewawancarai dan mengetahui kisah seputar perjuangannya melawan Belanda pada masa kemerdekaan di Kota Bukittinggi. Kota yang dulu juga dikenal sebagai salah satu kota pahlawan di Indonesia dikarenakan sempat menjadi ibukota sementara republik ini dan menjadi sentra perlawanan rakyat pada masa Agresi Militer Belanda II periode 1948-1949. Namun keinginan tersebut tertunda selama beberapa jam disebabkan saya harus menunggu acara pawai (yang kabarnya paling ramai pesertanya selama pemko Bukittinggi mengadakan acara pawai alegoris) tuntas.
Acara pawai selesai sekitar pukul 3 sore. Saya bergegas mendekati panggung kehormatan. Menunggu si pejuang tua turun. Di antara keramaian itu, saya akhirnya melihat si kakek turun dari panggung. Beliau kali ini berjalan sendirian, beringsut-ingsut, terbungkuk-bungkuk dengan tongkatnya. Segera saya dekati dan menyapa beliau.
“Ha? Dari surat kabar? Ada apa?” tanyanya berseru sambil menengadah pada saya. Suaranya yang terdengar jernih di usia setua itu menggambarkan bahwa beliau memang berlatar belakang militer.
“Saya ingin mewawancarai inyiak/kakek, dan mendengar kisah kakek semasa perang kemerdekan,” saya berkata.
“Oh, boleh-boleh,” jawabnya, “tapi jangan di sini, di kedai kemenakan saya saja, tidak jauh dari sini,” jawab beliau.
Maka kami berjalan beriringan.
Saya menyempatkan bertanya, “umurnya sudah berapa, nyiak/kek?”
Pria tua berambut keperakan itu menjawab, “tepat 17 Agustus kemarin, saya berulangtahun yang ke 87.”
Oh, berarti si kakek berusia 18 tahun pada 1945, gumam saya dalam hati.
Sekitar 100 meter dari panggung kehormatan, kami sampai di depan sebuah kedai/lapau sederhana. Si kakek masuk ke dalam dan menyapa seorang bapak 50 tahunan yang ternyata adalah kemenakan/keponakannya. Setelah itu si kakek duduk di meja panjang, sementara saya disuruh si kakek dan kemenakannya untuk duduk di sebuah kursi di depan si kakek.
Kami pun terlibat perbincangan hangat, diawali basa-basi ala Minangkabau. Baru kemudian saya secara resmi mewawancari pria uzur yang masih tampak penuh semangat ini.
Dengan sorot mata menyala Baharuddin PK. Bagindo, nama lengkap si kakek, menerangkan secara garis besar kisah pribadinya, “saya dulu dilatih dan diajarkan cara berperang oleh tentara Jepang (guna mengantisipasi melebarnya Perang Pasifik/Perang Asia Raya antara Jepang dan Amerika ke Indonesia). Jepang melatih kami dengan keras, saya pernah dihantam popor senjata karena dianggap tidak benar melakukan posisi tiarap,” kenang beliau.
Sewaktu Jepang menyerah pada sekutu setelah Hiroshima dan Nagasaki di bom atom. Belanda kembali ke negeri ini dengan diboncengi sekutu. Pada Agresi Militer-nya yang kedua, Belanda menangkap pemimpin bangsa Indonesia, Bung Karno dan Bung Hatta di Yogyakarta. Walau pemimpinnya ditangkap, Indonesia tidak menyerah begitu saja. Pada 1948 dibentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia dengan basisnya di Kota Bukittinggi, Sumatera Tengah (Sumatera Barat, Riau, Jambi dan sebagian Bengkulu sekarang).
“Maka mulailah pasukan Belanda masuk ke Sumatera Tengah untuk menggempur PDRI. Kami para tentara bekas didikan Jepang kembali berkumpul dan bersiaga di berbagai daerah. Karena persenjataan kurang, maka kami diperintahkan bertempur menggunakan pisau, golok dan kelewang.
“Belanda memusatkan pertahanan di Payakumbuh, keadaan menjadi tak terkendali. Istana Tri Arga (pusat pemerintahan PDRI. Sekarang menjadi Istana Bung Hatta Bukittinggi) dibakar, namun perang terbuka tidak terjadi di Bukittinggi. Kami bertempur dengan gaya gerilya,” terang kakek berpeci ini panjang lebar.
“Kami merepotkan tentara Belanda dengan bersembunyi-sembunyi, hal ini didukung kondisi geografis Kurai (Bukittinggi) yang memiliki banyak hutan. Cara ini dilakukan untuk mengulur waktu dan menghindari penangkapan sehingga membuat Belanda frustasi. Para laki-laki yang ikut selama gerilya (nyaris 1 tahun)  dilarang pulang kerumah. Kami disuruh hidup berpindah-pindah, masuk keluar hutan. Untuk kebutuhan logistik makanan, beberapa kaum ibu ikut bersama kami, mereka yang memasak makanan. Mereka juga termasuk kalangan pejuang. Sementara yang berada di kota akan meminta beras dan bahan makanan kepada penduduk lalu mengirimnya kepada kami secara rahasia.”
Kakek bergigi lengkap ini kemudian menuturkan, “veteran Angkatan 45 Kota Bukittinggi saat ini hanya tinggal saya seorang.
“Perayaan 17 Agustus tahun kemarin masih ada seorang teman, tapi sekarang dia sudah tiada.”
Begitulah sebagian petikan wawancara saya dengan veteran 45 bernama Baharuddin PK. Bagindo. Timbul kekaguman terhadap pahlawan bangsa satu ini selama mewawancarai beliau. Sebab tak ada sama sekali penuturan bernada keluh kesah dalam kisah penderitaan yang beliau alami untuk mempertahankan kemerdekaan dan nyawa mereka agar berdirinya negara ini. Berbeda sekali dengan koruptor-koruptor jaman sekarang yang hanya memporoti negara dan saat divonis tersangka, langsung jatuh sakit.
Terlepas dari itu, kakek yang lahir pada 17 Agustus 1927 ini menginginkan bukan hanya kalangan pemerintah saja, tetapi juga kalangan masyarakat agar lebih peka akan jasa-jasa para pejuangnya. Seolah masyarakat generasi sekarang hanya menikmati hasil perjuangan para veteran tanpa pernah mengetahui atau ingin mengenal siapa saja orang atau tokoh dibalik kemerdekaan dan bagaimana perjuangan mereka.

Baharuddin PK. Bagindo

Selamat Hari Pahlawan


Tackey

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Batagak Tunggak Tuo

Prompt #71: Her

Prompt #71: This Journey With You