UNTUK HATI YANG MENANTI



“Setiap orang pernah mempunyai orang yang dia sayangi...
Bukan keluarganya...
Bukan sahabatnya...
Tetapi dia orang yang menguasai hati, perasaan dan pikirannya...
Dia adalah orang yang tersayang...


Siang yang cerah di kampus hijauku. Beberapa kelas telah menyeselesaikan kegiatan belajar-mengajarnya di ruang-ruang Gedung C ini. Bak air bah yang datang tiba-tiba, koridor gedung yang memanjang penuh sesak oleh mahasiswa yang berhamburan keluar dari kelas mereka, tentu dengan wajah ceria. Aku menyusuri koridor, setelah kuliah perbaikan metodologi penelitian usai. Di koridor sesak tersebut aku kadang sedikit berusaha menyelip dan terjepit diantara manusia-manusia berwajah ceria itu. Trritiitiitiiit… trritiitiit… kurasakan ponselku berdering pelan dan bergetar dalam saku kanan celana. Setelah melepaskan diri dari cengkeraman kesesakan di koridor, kukeluarkan benda kecil persegi panjang yang berbunyi tadi, ada pesan masuk.

Kamu lagi apa…? Udah makan…?
Kalo udah pulang kuliah, langsung ke pustaka…
cari bahan referensi skripsimu ya… jangan lupa…
SEMANGAT!!!
                                                From: Rena

Aku hanya tersenyum membaca pesan masuk darimu, angin sepoi-sepoi serasa berembus di hati ini. Kulihat jam tangan, sudah jam 2… aku bergumam dalam hati. Ku arahkan langkah menuju kantin. Tapi baru berapa langkah, kakiku berhenti. Teringat sesuatu hal, aku memutar tubuh. Ok, ok, ke pustaka… aku bergumam kembali.
Dua jam kuhabiskan waktu di pustaka pusat universitas yang tenang. Mencari defenisi dan konsep, tapi hanya menghasilkan sedikit kepuasan, catatan-catatan referensi hanya terisi setengah di kertas HVS ku. Ah, sudahlah, ntar aku bimbingan lagi... aku masi blank dengan isi Bab II skripsi ku… aku berkeluh sendiri. Ku kirimi Rena pesan bahwa aku sudah mencari referensi di pustaka, namun hanya sedikit mendapat catatan referensi, dan kembali dia membalas dengan “SEMANGAT!!!”, aku hanya bisa tersenyum (angin sepoi-sepoinya masih ada).
Pukul 4 sore aku melangkah pulang. Ketika keluar dari gedung pustaka, langit berwarna keemasan menyambutku. Sore yang indah menyambung siang yang cerah. Aku sedikit terpukau juga kagum memandangi langit sore itu sambil terus berjalan menuju parkiran tempat motorku menanti manis. Parkiran beratap yang bersih dan asri itu mulai sepi dari kendaraan-kendaran.

Di jalan baru terlihat jelas matahari yang indah itu mulai terbenam menuju tempat peristirahatannya, kelelahan seharian menyinari bumi. Motorku melaju tidak terlalu kencang, aku terus menikmati cuaca sore yang nyaman ini. Saat sedang melaju itu, sekilas aku melihat sesosok wanita memakai seragam formal kantoran, jas lengan panjang berwarna hijau krem dengan dalaman kemeja putih dan rok yang dikenakan hingga lutut berwarna senada dengan jas. Dia sedang berdiri di trotoar, ingin melintasi jalan. Kutepikan motorku, sekedar untuk melihat sosok itu dari kejauhan, dan ternyata bukan, dia bukan Rena. Kukira sosok wanita itu Rena. Aku hanya tersenyum, kemudian kulanjutkan perjalanan pulangku. Dasar.

Rena Alisya Ferina. Ya, dia adalah teman dekatku saat ini (selain trio Aden, Arlen dan Oki). Bekerja sebagai costumer service di sebuah perusahaan swasta terkenal di kota ini. Dia sosok yang feminim, baik, ceria dan cantik tentunya. Satu hal lagi, dia sangat dewasa. Selain karena umurnya memang dua tahun diatasku. Sebenarnya, dulu dia seniorku di universitas, tetapi kami beda fakultas. Kami berkenalan hampir satu setengah tahun lalu di sebuah acara blind date yang diadakan oleh teman-temanku dan teman-temannya. Awal kedekatan kami karena di comblangin. Waktu itu dia sedang patah hati setelah putus dari pacarnya. Aku sangat ingat, ketika kami jalan berombongan dan kemudian teman-teman lainnya memisahkan diri dari kami, setelah hanya berdua saja Rena terus diam. Namun dia tiba-tiba menangis, karena teringat lagi tentang mantan pacarnya dan aku coba menghiburnya waktu itu. Sejak itu kami mulai dekat, aku juga tak bisa bilang kami sangat dekat.
Seiring waktu berlalu kami mulai saling perhatian. Rena selalu membantuku dalam berbagai hal. Dia juga tak segan-segan curhat padaku, tentang keluarganya, sahabatnya, mantan pacarnya, hal yang dia sukai, impiannya dan berbagai hal dia ceritakan padaku. Ya, dia gadis yang menyenangkan. Aku juga telah mengenal keluarganya, ayah, ibu, dan adik-adiknya. Dia anak sulung dan tipe pekerja keras (langsung bekerja setelah lulus wisuda 6 bulan lalu). Gadis yang mengagumkan.
Karena itulah teman-temanku bilang aku beruntung bisa dekat dengannya, mereka berulangkali menyemangatiku untuk menembak dan jadian dengan Rena… Namun, entah mengapa, hatiku masih takut untuk menjadikannya sebagai kekasih.
“Ayoolah Nik… tembak diaaa…!!” Aden sering berseru begitu… pernah dia berseru keras-keras dengan mulut penuh nasi goreng dan muncrat mengenaiku.
“Tunggu apalagi Nik…!? Bidadari di depan kamu disia-sia in…? bidadari lo… bukan Agnes Monica yang bisa dicari gantinya…” Arlen ga kalah lebay...
“Kamu ini kenapa…? Dia cewe yang baiikk… kalo aku jadi kamu… aku akan jadiin dia pacarkuu…!” Oki yang suka gemas dengan tingkahku ini memberi saran…

Entahlah… apa aku terlalu bodoh atau memang sudah tidak peka sebagai seorang laki-laki… Rena memang sangat baik padaku. Kami sering jalan berdua dan menghabiskan waktu bersama. Aku bisa melihat dari matanya. Aku bisa merasakannya. Senyumannya, sinar wajahnya, dia nampak sangat menyayangiku. Tapi, entah mengapa hal ini menjadi beban bagiku. Aku merasa masih belum bisa mengemban tanggung jawab untuk menjaga harapan-harapan Rena padaku. Aku takut menyayanginya, aku takut mengecewakannya. Aku selalu berusaha membunuh perasaan ini ketika aku mulai merasa menyayanginya. Aku merasa aku belum pantas menjadi miliknya. Namun disisi lain hatiku, aku juga takut kehilangannya. Huufft…

***
“Impian… apa impian yang selalu kita dambakan terhadap orang tersayang?
Ingin selalu berada di sampingnya…
Ingin selalu berbagi dengannya…
Ingin membahagiakannya…
Dan tentu saja immpian untuk  ingin memilikinya..,”

Sorepun bertukar malam, kembali pesannya muncul di kotak masuk ponselku…

Haiii… selamat malam…
Apa kabarmu…? Eh… ada waktu ga…?
Kita jalan-jalan yuk…
Kalau kau bisa, aku tunggu di rumah ya…
Kalau ga bisa, gapapa juga kok…^^

Aku terdiam sejenak dikamar kontrakanku. Kegalauan melanda, berpikir apa yang harus kulakukan. Kemudian aku mengambil jaket dan helm. Menjemput Rena ke rumahnya. Dia telah menunggu. Ternyata dia ingin mengajakku melihat festival kembang api di dermaga kota. Tanpa banyak basa-basi kami pun melaju kesana. Perjalanan ke dermaga dipenuhi celoteh ria Rena. Dia tak berhenti menunjuk bintang-bintang yang bertebaran menghiasi langit, malam itu. Suasana hatinya cerah sekali. Aku hanya bisa senyum-senyum kecil mengikuti tingkahnya. Suaranya yang tenang dan lembut seperti denting biola yang mengalun indah di telingaku. Tenang sekali.
Jalan raya tepi pantai yang kami lalui cukup sepi walau lampu jalan menerangi kesunyian. Kulihat ombak malam ini cukup besar. Deburan bunyinya terdengar jelas. Analogi debur jantungku saat ini.
Dermaga mulai kelihatan. Sayangnya belum sampai kami di dermaga, kembang api sudah diluncurkan dan meletus memancarkan kemilaunya. Menghiasi langit malam yang cerah dipenuhi bintang. Letusan pertama diikuti kembang api berikut dan seterusnya. Melihat hal itu celoteh Rena lenyap seketika, dia menyuruhku berhenti. Kuhentikan laju motor dan menepi. Dia langsung melompat turun dan berlari kearah trotoar pembatas jalan yang membatasi daratan dengan lautan. Helm masih terpasang di kepalanya. Kemudian dia terpaku di dekat pagar pembatas dan memandangi kembang api dari sana. Aku menyusulnya, angin malam membuat rambut panjangnya berkibar sehingga aku bisa mencium aroma wangi yang membuat pikiranku sedikit berkelana namun kuusahakan kesadaranku tetap terjaga. Kemudian berdiri disampingnya. Sejenak kami memandangi kembang api-kembang api bertaburan dilangit dari kejauhan. Diiringi dengan bunyi letusan-letusan itu. Kuarahkan pandanganku ke wajah Rena, dia benar-benar terpukau. Sinar matanya memantulkan kerlap-kerlip cahaya percikan kembang api layaknya aku melihat bintang-bintang bertaburan dilangit malam. Mulutnya sedikit ternganga. Sedetik kemudian dia menggenggam tanganku. Aku sedikit terkejut seperti ada yang menyentrum jantungku. Ombak besar kembali menghempas.
“Tanganmu dingin…” dia berkata pelan, tenang, wajahnya masih memandangi kembang api…
Aku terdiam sebentar, dan menjawab… “Ya, karena aku bawa motor… dan aku lupa bawa sarung tangan…”
“Kenapa…? Apa kau terburu-buru menjemputku…?” Rena bertanya, pandangannya tak juga beralih…
“Mmm… haha… mungkin…” Kali ini aku menjawab tersenyum…
Namun Rena terdiam, entah karena jawabannku yang diikuti tawa dan tersenyum itu terasa jayus, garing atau aneh baginya. Aku juga mulai terdiam. Letusan-letusan kembang api dan deburan ombak saling beradu ditelingaku. Kembang api kembali mencuri pandanganku dari wajah Rena…
“Kau tahu suasana hatiku saat ini…? Saat kita hanya berdua dan memandangi kembang api?” Rena bersuara lagi diantara letusan kembang api dan deburan ombak…
Pertanyaan itu serasa menghempas dadaku. Wajahku mengeras. Aku terdiam tak mampu menjawab untuk sekedar menerka, begitu juga untuk memalingkan kepalaku memandang wajah bidadari malam yang bernama Rena itu. Hanya bola mataku yang bergerak menuju sosok Rena. Entah kenapa aku tak berani memandang penuh wajahnya kali ini? Entah karena aku serasa ditelanjangi ketika melihat matanya dengan pertanyaan itu? Aku tak berani. Aku grogi.
Kemudian Rena menyambung kalimatnya… “Mungkin… sama seperti kembang api-kembang api yang sedang meletus dan menaburkan keindahannya malam ini… suasana hatiku…”
DUAR!! BLARR!! GLAAR! Letusan kembang api terdengar sangat deras kali ini. Aku menjawab pernyataan Rena tadi dengan diam. Namun, pelan-pelan kupandangangi Rena kembali… kulihat dia tersenyum, tetapi memandang kembang api. Aku ikut tersenyum. Kamipun diam-diaman kembali diantara letusan dan deburan untuk kembang api dan ombak. Genggaman tangannya makin erat memegang tanganku. Di lain tempat dihatiku, letusan dan deburan juga sedang terjadi. Malampun semakin pekat.
Tak lama setelah festival kembang api usai, kami pun pulang. Rena hanya diam di perjalanan, tidak riang ceria seperti biasa, akan tetapi dia terus mendekapku erat. Kurasakan ia menyandarkan dagunya di pundakku, kurasakan dadanya, kurasakan detak jantungnya. Kurasakan kelembutan dan kehangatan, nyaman sekali.
Diam-diaman terus berlanjut. Malam yang tenang mengalir bak air di sungai dangkal, dengan airnya yang jernih menampakkan batu-batu berwarna-warni di bawah sungai itu, mengalir pelan melewati bebatuan. Tenang.

Sesampai di rumah Rena. Waktu menunjukkan pukul 9 tepat. Aku menghela nafas lega. Karena Rena hanya diperbolehkan keluar rumah sampai jam 9 malam oleh orang tua nya, dan aku selalu berusaha untuk mentaati peraturan itu. Pernah beberapa kali kami lupa waktu ketika kami jalan berdua dan telat pulang. Dia dimarahi. Walau umurnya sudah 24 tahun, dia tetaplah seorang gadis biasa. Dia tetaplah porselen yang amat berharga bagi keluarganya. Porselen yang mudah pecah jika tidak dijaga dengan baik. Ya, aku sadari hal itu…
Setelah pamit kepada kedua orang tua dan adik-adiknya, akupun pulang kembali ke kontrakanku.
Sesampai di kamar… aku memberi tahu Rena bahwa aku sudah sampai di kontrakanku… dan dia membalas…

Terimakasih banyak waktumu…
Untuk malam ini ya…
Suasana hatiku masih seperti kembang api-kembang api tadi…

Aku tersenyum membaca pesannya namun hatiku terus bertanya-tanya. Apa maksud perkataan tentang suasana hatinya yang tergambar seperti letusan kembang api itu? Malam bergulir semakin pekat.

***
“Kisah cinta memiliki banyak cerita…
Terutama tentang cerita indah dan akhir bahagia…
Namun, kadang cinta tidak semudah yang dibayangkan…”

Matahari tepat diatas kepalaku, di siang yang cerah itu kutemui Arlen, Aden dan Oki. Kuceritakan kejadian kemarin malam… mereka serempak menjawab… “APA YANG KAMU TUNGGU LAGIII…!!!”
“Menurutku itu adalah sinyal dari dia…” Arlen berpendapat…
“Emang hape, pake sinyal…” Oki nyela Arlen… Arlen manyun…
“Setuju, kamu kelamaan siiih…! Ayo broo…! Aah… kecewa, kecewa, kecewa… momen tepat banget tuh tadi malam…” Aden menyikut rusukku…
“Apa yang ada dipikiranmu saat ini…?” Oki bertanya serius padaku… dia menatap lamat…
Aku menghela nafas… “Entahlah…”
“Apa yang akan kamu lakukan selanjutnya pada Rena?” Oki meneruskan…
“Aku belum tau…”
Oki masih menatapku… “Apa kata hati kecilmu? Dengarkan… kalau kamu hanya bercerita pada kami… sementara kamu masih ragu dengan jawaban yang kami beri… semua ga ada gunanya…” perkataan Oki menyusuri relung-relung hatiku…
“Kamu takut…?” Pertanyaan Oki terus menghujam… aku hanya diam… “Mana yang lebih kamu takutkan…? Kamu mengakui isi hatimu padanya dengan resiko apapun… atau kamu akan kehilangan dia karena dia telah menjadi milik orang lain tanpa pernah tau apa isi hatimu sebenarnya…?” Kali ini keheningan menghempas hatiku… “Cinta tidak semudah itukan…?” Kata-kata terakhir menyadarkanku… kubalas tatapan Oki, kemudian Arlen dan Aden…
“SEMANGAAAATTT!!!” mereka bertiga serempak mendekapku…

***
“Ya, cinta tak semudah yang kau perkirakan…”

Senin sore setelah kuliah usai, ponselku kembali bergetar. Ada pesan masuk. Kulihat, dari Adia.

NIkkaAAaa ganteeng… daah sombooOong ya sekarang…
Mentang2 udah skripsi… jarang deh sms ato telpon Adia…
Lagi apa kamu?? Ada waktu ga?? Kita ketemuan yuuk…
Kita berdua ajaah… di café tempat acara jodoh2an dulu…
Aku tunggu 30menit ya… aku yang traktir deeh…
Awas klo ga dateng… (*,*)

Hehe… aku tertawa kecil membaca pesan dari Adia…
Adia Faisa Deva. dia sahabat dekat Rena, paling dekat malah. Rena bersahabat semenjak SMP dengan Adia. mereka sudah seperti saudara. Adia juga sudah bekerja, di tempat yang sama dengan Rena, tapi Adia baru 4 bulan disana. Apakah gerangan dia mengajakku ketemuan kali ini? Tentang Rena kah…? Namun, kami jarang bicara tentang Rena jika berdua. Kadang aku merasa Adia seperti menungguku membuka topik tentang Rena. Sayangnya aku jarang memenuhi keinginannya itu.

Sekitar 20 menit kemudian aku sudah sampai di café kecil yang cukup nyaman itu. Kulihat Adia duduk di sudut ruangan yang berjendela kaca besar menghadap ke jalan. Dia sedang sibuk dengan ponsel touchscreen-nya. Aku melangkah menghampiri tempat duduk Adia. Tubuhnya masih berbalut seragam kantor, mungkin baru pulang. Dia menyadari kedatanganku lalu tersenyum.
“Haiii… makin ganteng aja kamu…” Dia menggodaku.
Aku cuma tersenyum kemudian duduk. Kami duduk berhadapan… “Tapi sayang Adia…” aku menjawab godaan Adia tadi.
“Ha…? Sayang kenapa…?” Adia penasaran.
“Lum ada yang punya…” Aku melanjutkan tersenyum.
Adia awalnya terdiam menatapku sebentar tapi setelah nyambung baru dia tertawa kecil, begitu juga aku.
“Tapi ada hal lain yang juga disayangkan Nikaa…” Adia menyambung.
“Hmm…? Sayang apa lagi…?” Kali ini aku yang penasaran.
“Sayangnya aku juga udah ada yang punya… kalo ngga aku mao kok gebet kamu… ga ada doa penolak rejeki sihh… hehehe…” Mendengar balasan Adia akupun tertawa…
“Eh… kamu pesan apa sore-sore gini…?” Adia bertanya
“Mmm… apa ya…? Kopi Susu Krim aja deeh…”
“Minum doang…?”
“Mmm… ya… lagi diet…” Aku nyengir…
“Helllooow…? Sejak kapan kamu diet? Badan udah ceking begini…”
“Hahhaha… bencanda kok… bercanda…”
“Bener ga makan niih…? Jarang-jarang lo aku traktir…?” Adia bertanya lagi…
Aku menggeleng tersenyum, meyakinkan Adia.
Lalu Adia bangkit dari meja kami, berjalan menuju meja pesanan… tak lama dia datang bersama pelayan yang membawa nampan pesanan…
“Tumben Adia lagi baik? Sampe ntraktir segala…? Ada acara apa nih…?” Aku memulai pembicaraan serius itu…
“Hehe… mmm… menelaah pernyataan kamu tentang ‘sayang kamu lum ada yang punya’ tadi… aku mo nyambung… bagaimana kalo ada seorang gadis cantiiikk… baiiikk… mandiriii… yang mau ama kamu…? Nolak ga…?” Adia langsung nyerocos sambil menatapku serius…
Aku terdiam sejenak… jantungku berdebar… darahku berdesir…
“Kamu ngomongin Rena ya…?” Aku berkata ragu…
“E..EEe… Kok kamu berpikiran kesitu…?” Adia langsung menatapku dengan mimik curiga…
“Eh… oohh…” Aku salah tingkah… “Aa… aku hanya mencoba menerka isi hatimu…” Kujawab sekenanya, tapi tampang selidik Adia makin membuatku gelagapan… “Mmm… lagian kamu kan teman dekat dia… lagipula Rena ga ada diantara kita sekarang, mungkin kamu ingin membicarakan Rena… ato mungkin Rena sering cerita tentang aku ke kamu, ato kamu suka pinjam ponsel Rena lalu melihat pes-…an… ku… di-…” Aku coba mengelak tapi kemudian ternganga sambil menutup mulut… kulihat Adia mulai tersenyum lebar… tatapan seriusnya berubah menjadi tatapan kemenangan… seperti orang lagi dapat ikan besar dan berteriak… [yeaaaahh!! Dapat kau… hahahahha…!]
“Aaa… eee… kenapa kamu tersenyum…?” Aku makin serba salah…
Dia masih tersenyum kemudian berkata… “Hehe… Aku tidak bisa menjawab sekarang siapa gadis itu… tapi aku sangat mendukungmu… jika kamu jadian ma Rena… mungkin, itu masih sebuah harapan… aku juga tak ingin memaksamu… itu semua terserah kamu dan Rena kan…?”
“Aaa… maksudnya…?”
“Mmm ga bermaksud apa-apa… hanya berharap aja…”
Aku hanya bisa hening,… memikirkan ucapan Adia yang sangat mengena tadi…
Dia berharap padaku…
“Apa menurutmu Rena sudah punya pacar…?” Adia meneruskan kata-katanya…
Jantungku kembali berdebar… darahku berdesir… kenapa? Apa salahnya jika Rena sudah punya pacar…? Dia juga bukan siapa-siapa bagiku… kami cuma teman dekat… ya… itu saja… tapi? Kenapa Adia berkata seperti itu padaku?
“Kenapa kamu nanya gitu…?”
Adia mengangkat kedua alisnya… “Hanya ingin tahu pendapatmu saja… kan kamu dekat dengan dia…?”
Ohh… Adia makin menggiringku pada jebakannya… aku berusaha mengontrol diri untuk tak terlihat salah tingkah lagi, walau sebenarnya hatiku bergemuruh… “Aku tidak tau… aku menilai dia seorang gadis yang baik… dia cantik… dia manis… dia supel… dia mandiri… dia hampir sempurna, mudah baginya untuk didekati lelaki manapun… dan memilih mereka yang terbaik untuk dijadikan pendamping hidupnya… aku hanya bisa menjawab, mungkin dia sudah punya pacar…” Aku berkata sedikit tercekat…
Adia masih menatapku… tapi tatapannya datar kali ini… kembali hening menghadiri kami berdua…
“Dia belum punya pacar… tapi dia sedang berjuang melawan rasa penantiannya… menunggu seseorang…”
Aku terpana mendengar kata-kata Adia barusan… Darahku makin berdesir dan hatiku bertanya-tanya…
“Seseorang…?”
“Ya… seseorang yang dekat dengannya… sangat dekat malah… bisa dibilang bahkan lebih dari sekedar teman…” Adia masih menatapku datar… “Baru kali ini dia kulihat sebahagia ini… semenjak aku bersahabat bersamanya… namun, disisi lain dia juga tersiksa dalam penantiannya… dia selalu terlihat bahagia ketika menceritakan tentang ‘seseorang’ itu… tetapi kadang dia juga menangis ketika dia bercerita tentang penantiannya dan bertanya, apa ‘seseorang’ itu juga menyayanginya atau tidak…?” Adia berhenti… sejenak ia menyeruput jus jeruknya…
Aku masih terpana… membisu… bertanya-tanya…
Adia meneruskan… “Ya, dia terus menanti kebahagiaannya terwujud… namun jika seseorang itu sama sekali tidak menyayanginya… dia rela dan akan menerima hal itu dengan tulus… yang ia ingin ketahui hanyalah perasaan seseorang itu kepadanya… itulah kebahagiaannya yang sebenarnya… dia akan tetap menyayangi seseorang itu… walau seseorang itu sama sekali tidak menyayanginya… berada di dekat seseorang tersebut sudah cukup baginya…” Adia berhenti lagi berujar sambil menatapku… seperti ingin mengetahui reaksiku… hanya riuh rendah suara café yang terdengar diantara keheningan kami…
“Ja-… jadi selama ini Rena menyayangi seseorang itu…?” Aku masih tercekat…
Kenapa…? Kenapa hatiku harus tertusuk begini…? Memangnya kenapa jika Rena mencintai laki-laki lain…? Apa salahnya…? Aku juga bukan siapa-siapanya…
“Yaa… bagiku, dia menunggu cukup lama…” Adia mengubah posisi duduknya…
Hatiku belum berhenti bergemuruh mendengar kata-kata Adia… ya, walau aku dekat dengan Rena dan selalu mendengar semua tentang dirinya yang ia ceritakan sendiri padaku, akan tetapi satu hal yang tidak pernah kudengar darinya adalah dengan siapa saja lelaki yang dekat dengannya selain aku… Rena tak pernah bercerita, kecuali tentang mantan-mantan pacarnya yang sudah tak lagi berhubungan dengannya… ya, kusadari itu…

***
“Kadang, harapan dan impian yang besar tidak mudah mengembannya…”

Besoknya aku mengajak Rena untuk jalan berdua. Dia langsung meng-iya-kan jawabanku, dengan senang hati ‘sepertinya’. Aku berencana berbicara serius dengannya tentang hubungan kami ini. Ya, setiap ucapan Arlen, Ade, Oki dan Adia kemarin masih terekam kuat di otakku. Semalaman batinku berperang hebat, mempertimbangkan apa yang harus kulakukan. Akhirnya aku teringat kata-kata Oki…
“Mana yang lebih kamu takutkan…? Kamu mengakui isi hatimu padanya dengan resiko apapun… atau kamu akan kehilangan dia karena dia telah menjadi milik orang lain tanpa pernah tau apa isi hatimu sebenarnya…?”
Maka aku bulatkan tekad dan memutuskan untuk berkomitmen pada Rena dan mengakui perasaan ini padanya apapun yang terjadi nanti, ini adalah hidupku.
Aku menjemput Rena di depan kantornya sabtu sore itu. Dia kelihatan sangat senang, bukan ‘sepertinya’ lagi. Aku langsung mengajaknya jalan dengan segala rencana yang tersimpan di otakku. Namun saat kami berboncengan gemuruh hebat kembali melanda hatiku, perasaan grogi dan gugup menjalari syaraf-syaraf di tubuhku. Entah kenapa tiba-tiba rasa takut kembali menggelayuti. Takut akan kehilangan Rena jika aku bicara serius dengannya. Takut Rena akan salah paham tentang aku dan menjauh ketika kami membicarakan hubungan kami selama ini, dan takut jika ternyata benar Rena sedang menanti seorang lelaki selain aku. Mungkin yang terakhirlah yang paling menyakitkan.
Aku banyak diam, dan Rena membaca keadaanku dengan baik…
“Kamu kenapa? Kok banyak diam…?”
“Aa… mmm kurasa kepalaku sakit perut…” kujawab asal…
Rena tertawa dan memukul helm ku lembut… “Garing…”

Akhirnya, kami berhenti di sebuah kafe kopi kecil dekat kampus ku, mantan kampus Rena. Kami duduk pada sebuah meja bulat kecil beralaskan kaca tebal dengan 2 tempat duduk rotan yang saling berhadapan. Rena langsung berceloteh.
“Kafenya asyik ya…? Enak…” dia tersenyum.
“Yaa… aku sering kesini belakangan ini. Kalo lagi suntuk.”
“Hmm… kok baru kali ini ngajak aku kesini…? Emang kopinya enak-enak?”
Aku tersenyum… “Favoritku Carribean Nut Coffe Milk… coba deeh…”
“Ehehehee… aku lebih suka milkshake aja… atau es krim ada ga…?”
“Kurasa ada… mau mana? Milkshake ato es krim…?”
“Mmm… Es Krim aja… Mau… mau… mauu…”
“Ntar kamu gemuk lo…?” aku bercanda…
“Biarin…” Rena sewot…
Aku tertawa kecil dan mengusap rambut lembutnya, kemudian beranjak ke meja pesanan lalu memesan. Setelah selesai memesan aku kembali duduk di hadapan Rena. Rena hanya senyum-senyum saja memandangku.
“Kenapa? Apa wajahku makin jelek…?”
Senyumnya makin lebar, menahan tawa… “Sensi amat. Ya terserah aku dong kalo mau senyum. Mang ga boleh?”
“Hehe… cuma penasaran aja…” kali ini aku yang tersenyum.
“Tumben kamu ngajak aku jalan? Biasanya selalu inisiatifku…” dia bertanya dengan mimik pura-pura cemberut. Aku kembali tersenyum.
“Mang ga boleh aku ngajak kamu jalan…?”
“Yaaa… boleh siih… tapi jarang jarang kayak gini…”
Lagi ku jawab dengan senyuman…
“Senyam-senyum ga jelas aja dari tadi kamu…” tampang Rena yang makin cemberut itu sangat lucu… membuat tawaku pecah dan kualihkan pandanganku dari wajahnya…
“Ada yang mau di omongin…?” selidiknya.
Pertanyaan Rena kali ini tepat mengenai sasaran… Tawaku perlahan berhenti tetapi mulutku tetap ternganga…
“Aaa…” kembali kupandangi wajah Rena, mata kami beradu… hatiku bergejolak tak mampu menahan sesak ini, ingin kunyatakan bahwa aku sangat menyayanginya, akan tetapi tak ada kata yang terucap dari mulutku yang ternganga… aku kemudian tertunduk, kedua tanganku mengepal di paha…
“Nika? Kenapa? Mukamu kok jadi merah gitu… kamu sakit ya…?” tangan halusnya menyentuh keningku dengan lembut… “Ngga panas kok…” Rena makin heran…
“Rena…” tiba-tiba suaraku keluar… kuangkat wajahku dan menatap Rena dalam…
“Eh, ya…?” Rena heran sambil mengenggam tangan kanannya didada…
“Apa ada seorang laki-laki yang dekat denganmu saat ini…?” makin dalam kutatap kedua bola mata itu…
Rena hanya terdiam… mulutnya sedikit terbuka, ia tertegun memandangku… tak ada jawaban… kurasakan dalam hati ini jawabannya adalah ‘ya’… “Dia belum punya pacar… tapi dia sedang berjuang melawan rasa penantiannya… menunggu seseorang…” kata-kata Adia menyeruak di pikiranku… “Ya… seseorang yang dekat dengannya… sangat dekat malah… bisa dibilang bahkan lebih dari sekedar teman…” ternyata benar, bukan aku laki-laki yang ditunggu Rena… raut wajah Rena tak berubah, dia sepertinya mengkhawatirkan aku yang tampak kecewa… namun sekuat tenaga aku tersenyum (entah untuk kepahitan atau kebahagiaan), agar kekhawatirannya sedikit hilang… ya, walau berat menerima hal ini… kuhela nafas…
“Kamu sayang ya padanya…?” kembali aku bertanya…
Tetapi Rena masih membisu…
“Hmmm… dari wajahmu, sepertinya tebakanku benar… hehe…” kembali sekuat tenaga aku tersenyum…
Lalu kami terdiam sejenak… kemudian…
“Sudah satu setengah tahun berlalu yah…?” aku memulai tahap pengakuan perasaanku…
“Sudah satu setengah tahun sejak aku mengenalmu, kita berkenalan…”
“Dan selama itu pula aku banyak melalui waktu yang bahagia, terutama ketika berada disampingmu…”
“Mengenal sosok gadis yang baik, cantik, manis, supel dan mandiri sepertimu… adalah sesuatu yang sangat berharga bagiku… aku juga bersyukur bisa dekat denganmu… bercerita, berbagi, tertawa dan melakukan banyak hal…” kata-kata ku mengalir keluar dari hati… perasaanku mulai tenang…
“Dan… dari waktu ke waktu kusadari, setiap kita bertemu dan kemudian berpisah… ada hal yang kutakutkan… aku takut jika suatu hari tak bisa bertemu dengan mu lagi ketika kita berpisah… aku takut kehilanganmu… ya, kusadari itu…”
“Awalnya aku ragu dengan perasaan ini dan sering menekan egoku untuk tidak mengatakannya padamu… ya aku takut… sangat takut… namun teman-teman, Aden, Arlen dan Oki selalu mendukungku dan menumbuhkan rasa bahagia itu lagi di hatiku… begitu juga dengan statusku yang hanya mahasiswa, sementara kamu sudah bekerja… hal ini juga menjadi pertimbanganku…”
“Akan tetapi aku juga hanya manusia biasa… tak semua hal bisa kuatasi… begitu juga rasaku ini… apakah ini yang dinamakan cinta? Aku tidak tahu…? Yang aku tahu, aku mengenal sosok gadis mandiri yang manja, yang selalu menyemangatiku untuk mengerjakan skripsi… dia sangat suka es krim, juga suka mengajak ku jalan-jalan di malam hari setelah dia pulang bekerja, kadang dengan sedikit paksaan… ketika dia kubonceng pulang dia suka tertidur… dan yang aku tahu aku sangat nyaman bila berada di dekat dia… ya, sangat bahagia dan tak pernah bosan memandanginya setiap saat…” kupandangi Rena lamat… matanya mulai berkaca-kaca…
“Kurasa inilah momen yang tepat untukku… dengan tulus kukatakan padamu… AKU MENYAYANGIMU…” akhirnya keluar juga kata-kata itu dari mulutku… kulihat Rena menitikkan air mata, tubuhnya bergetar menahan tangis… ia menutup mulutnya dengan telapak tangan, dia tertunduk dan perlahan menangis…
“Re-… Rena…” aku jadi bingung…
Rena bangkit dari tempat duduk sambil tertunduk dan air matanya menitik… dia berjalan menjauhiku…
“Re-… Rena…” akupun ikut bangkit dari tempat duduk untuk mengejarnya… “Ren-…”
Sebelah tangannya terangkat tertahan, mengisyaratkan agar aku jangan mengejarnya… aku berhenti membeku… Rena makin jauh… jauh… dan menghilang dari pandanganku… aku hanya bisa terdiam… terpaku…
“Dia belum punya pacar… tapi dia sedang berjuang melawan rasa penantiannya… menunggu seseorang…” kembali terngiang kata-kata Adia di benakku…
“Ya… seseorang yang dekat dengannya… sangat dekat malah… bisa dibilang bahkan lebih dari sekedar teman…”
Aku termagu, terpekur, dan ternyata benar… seseorang tersebut bukanlah aku…
“Cinta tidak semudah itukan…?” Kali ini kata-kata Oki menyeruak…
Ya, cinta tak semudah yang aku bayangkan… semua yang kuperkirakan tentang Rena hanya harapanku belaka, hanya perasaanku… tapi bukan perasaan Rena…

Malamnya, telah kucoba menghubungi Rena… tapi tak pernah diangkat panggilanku… kucoba menghubungi Adia, dia mengatakan Rena telah cerita padanya. Adia tidak tau harus berbuat apa, dia menyarankan agar aku tetap tenang dan coba menghubungi Rena setelah dia tenang. Kuhubungi juga Arlen, Aden dan Oki. Mereka bersimpati dan langsung mendatangi kontrakanku, menghiburku, mengajakku refreshing berkeliling kota. Walau sebenarnya malam itu kebersamaan kami sangat menyenangkan, tetapi hanya kehampaan yang mengisi hatiku, semua terlihat abu-abu… tidak jelas. Kata-kata Adia terus berputar di pikiranku… “Dia belum punya pacar… tapi dia sedang berjuang melawan rasa penantiannya… menunggu seseorang…”
“Ya… seseorang yang dekat dengannya… sangat dekat malah… bisa dibilang bahkan lebih dari sekedar teman…”
“Ya, dia terus menanti kebahagiaannya terwujud…”
Tanpa sadar, buliran bening mengalir dari mataku… buliran-buliran lain pun mengikuti, mencoba mengurangi kepedihan ini… menyiram dan membasahi gersangnya perasaanku… menyadarkan betapa naïf-nya diriku yang ternyata menyimpan harapan-harapan besar nan hampa pada Rena. Entah mengapa, malam terasa sangat lama, kuingin pagi cepat datang dan melupakan semuanya.

***
“Kadang, harapan dan impian yang besar tidak mudah mengembannya…
Apalagi ketika kita tau harapan dan impian itu tak akan  pernah terwujud…”

Besoknya kulewati hari dengan kekosongan… hampa… serasa ada yang kurang saja… kuikuti perkuliahan dengan pikiran yang selalu melayang pada harapan-harapan yang terus memudar… untuk sekedar tersenyum lepas saja susah apalagi untuk tertawa… aku tidak seperti biasanya, ya aku terpuruk sangat dalam… Arlen, Aden dan Oki sepertinya mengerti keadaan yang sedang terjadi…

Seperti malam sebelumnya, malam ini mataku kembali sulit terpejam. Sudah empat hari kulalui tanpa tau apa kabar Rena. Senyumannya, wajah riangnya, tatapan matanya, aroma tubuhnya, ahk! Bayang-bayang Rena terus berputar dikepalaku. Begitu juga harapan bodohku ini ‘jika kami ditakdirkan bersama, maka kami akan dipertemukan disuatu tempat’… huh, sungguh bodoh sekali. Apakah aku benar-benar mencintai Rena? Pertanyaan itu lagi. Kadang mencintai tak harus memiliki. Mencintai juga berarti kau harus siap melepaskan orang yang kau cintai dan membiarkannya bahagia. Cinta benar-benar tak semudah yang kubayangkan.

Hari ini adalah hari ketujuh atau seminggu setelah aku mengakui perasaanku pada Rena… namun, dia menolakku… resiko harus kutanggung, walau aku sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi hal ini, tetapi tetap saja sulit kuterima. Ya, biarlah waktu yang menjawab…
“Heh… Ngelamun lagi…” suara Arlen menyadarkanku dari kesemuan… kami berempat sedang di kafe fakultas…
“Tuh habisin nasi gorengmu…” Arlen meneruskan…
Kulihat nasi goreng pesananku, sebagai jamak makan siang di sore itu… sebenarnya nasi goreng kafe fakultas ini adalah jajanan favoritku, namun entah kenapa kali ini seleraku tidak seperti biasanya… dan keramaian di kafe ini benar-benar menyadarkanku bahwa aku berada di dunia nyata, bukan di alam lamunanku… tetapi keramaian ini tidak menulari hatiku yang selalu dihinggapi sepi…
Trritiitiitiiit… trritiitiit… kurasakan ponselku berdering pelan dan bergetar dalam saku kanan celana. Ada pesan masuk, hatiku bergetar hebat… aku merasa pesan ini dari Rena… kubuka pesan itu cepat…

Kamu lagi dimana…?
Unknown Number

Huuuufftt… sialan, kenapa hari gini ada pesan dari nomor tak dikenal… tidak liat-liat suasana apa… aku menggerutu dalam hati… siapa sih ini? Kurasa teman se-jurusanku yang make nomor baru, mungkin pengen nanya tugas atau minta bahan kuliah, atau apalah. Kubalas pesan tersebut singkat… Aku lagi di kafe fakultas, ini siapa…? Kalo ada perlu kesini aja…
Tak lama kemudian si ‘unknown number’ membalas lagi…

Ok, tunggu aku disana ya…

Yo wes lah… kusendokkan nasi goreng ke mulut, melanjutkan makan siang, mengobati kedongkolan hatiku yang terlalu berharap… namun beberapa saat kemudian seorang cowok tak dikenal entah darimana datangnya memberikannku secarik kertas yang terlipat.
“Dari seseorang…” dia berbisik padaku kemudian berlalu pergi…
Aku, Arlen, Aden dan Oki saling berpandangan bingung… lalu mataku beralih pada kertas terlipat yang berada di hadapanku…
“Apaan isi kertasnya…?” Oki berujar penasaran…
“Waaah… sapa tau lotre 1 triliun!!” Aden ngaco…
Kubuka lipatan kertas perlahan… dan kudapati sebuah tulisan…

Untuk orang yang sangat kusayangi, Nika Harianza Ramadhan
“WOOOAAAA…” Arlen dan Aden serempak bersuara… tapi cepat-cepat mulut mereka ditutup Oki, menghentikan suara WOOOAAAA yang cukup keras itu…
Setelah suasana tenang kulanjutkan membaca…
Nika, sebenarnya aku tak tahu harus berbuat apa, hanya saja, aku sangat bahagia ketika menulis surat ini untukmu…
Dahiku mulai berkerinyit, surat cinta ya…? Tapi dari siapa? Apa ini jawaban Tuhan atas penolakan cintaku? Tuhan menjawab dengan cara lain… aku tersenyum sendiri dan melanjutkan membaca…
Ya, aku sangat bahagia. Kau adalah impianku, kau adalah pelita hatiku, pijakan hidupku, harapan-harapanku sebelum tidur dan menjadi bunga penghias mimpiku, beneran deh… hehe.
Kau tahu? Aku bukanlah seseorang perangkai kata yang baik… namun aku telah berusaha sekuatnya untuk menulis ini untukmu…
Kau tahu?Aku adalah pemuja rahasiamu… yang selalu memuja kelemahan dan kelebihanmu…
Kau tahu? Bahwa kita telah bertemu? Aku bahagia telah bertemu denganmu, aku bahagia telah mengenalmu. Kau tahu betapa bahagianya aku ketika bertemu denganmu.
Kau tahu? Kita pernah melewati hari bersama.
Kau tahu? Aku selalu bercerita padamu, walaupun bukan cerita menarik penghibur hatimu melainkan cerita membosankan yang berisi tentang aku, aku, aku, dan aku lagi. Tetapi, kau tak pernah bosan dan selalu antusias mendengarnya.
Kau tahu? Bahwa aku benar-benar menyayangimu. Aku benar-benar sangat menyukaimu, aku tidak bisa berhenti menyukaimu. Bahkan akupun tidak bisa berpura-pura untuk tidak memperlihatkan rasaku ini padamu sehingga aku merasa kesannya aku memintamu untuk menyukaiku juga. Tetapi itulah, aku juga bingung sendiri kenapa aku seperti itu… ya, jawabannya cuma satu, yaitu karenamu…
Dan… apakah kau tahu? Hari itu kau menyatakan perasaanmu padaku… hari dimana hari yang sangat-sangat kuimpikan selama ini, dimana harapanku seperti menjadi kenyataan? Dan memang kenyataan!?
Apakah kau tahu bahwa saat kau menyatakan perasaanmu padaku betapa bahagianya aku, hingga aku hanya bisa menitikkan air mata bahagia ini dan kebingungan yang amat sangat melanda hatiku.
Kau tahu? Seharusnya aku siap akan hal itu, tetapi entah kenapa aku tidak siap? Aku merasa aku terlalu bahagia dan tak tahu harus berbuat apa…? Malah menangis dan berlari meninggalkanmu…
Kau tahu? Sesampainya di rumah aku langsung memeluk ibuku dan menciumnya berkali-kali kemudian berlari ke kamarku dan mencari fotomu dan kucium berkali-kali juga lalu meloncat-loncat kesana-kemari… ya, aku sangat bahagia…
Kemudian, ketika kau coba menghubungiku… dan entah bagaimana aku merasa takut, untuk berbicara padamu, takut karena kegugupanku, aku takut kalau aku terlihat bahagia setelah kau ‘menembak’, aku takut kau mengetahui itu…? Mungkin aku gila ya? Ya, gila karena kamu…
Kau tahu? Bahwa aku sering bercerita di kantor tentang kamu, bahwa aku selalu menantimu… dan hari itu, dengan bangga kuceritakan pada teman-temanku bahwa sekarang aku benar-benar mempunyai seorang kekasih yang kudambakan dan dia telah memilikiku sekarang… ah… aku merasa menjadi orang paling bahagia di dunia… karena apa? Ya karena kamu… dan penantianku berakhir indah…
Terakhir… dan kau tahu…? Siapa orang yang berdiri dibelakangmu saat ini…?
Isi tulisan dikertas berakhir aku sedikit terkesiap dan perlahan kupalingkan wajahku kebelakang…
DEG…!
DEG…!
DEG…!
Rena… dia telah berdiri tepat di belakangku… membawa kue blackforest yang ditaruh 2 buah lilin diatasnya, yang menunjukkan angka 22… sambil tersenyum manis dia berjalan pelan ke arahku sambil menenteng kue itu dihadapannya seperti gadis pembawa bendera di upacara kemerdekaan… aku ternganga melihatnya kali ini… dia begitu cantik, bahkan hampir seluruh mata di kafe ini tertuju pada Rena… seketika aku teringat… hari ini ulang tahunku yang ke-22…
“Kurasa inilah momen yang tepat…” Rena berkata…
“Dengan tulus kukatakan padamu… AKU JUGA MENYAYANGIMU… selamat ulang tahun Nika…” Rena menyodorkan kue padaku…
“Yeehe…!!! WooHooo…!!!” Trio Arlen, Aden dan Oki serempak bersorak dan menepuk-nepuk dan mengguncang-guncang pundakku…
Aku, aku terdiam tak menyangka… lalu kupandangi kue ultah itu… ‘Kupersembahkan Rasa Sayang Ini Untukmu’ tertera tulisan yang terbuat dari mentega putih menghiasi kue ulang tahun itu… aku masih tak percaya dan ternganga…
“Maafkan aku yang bodoh ini… baru kemarin aku bisa memutuskan untuk berani bertemu denganmu, aku telah banyak membuang waktuku dan terus melukaimu… maafkan aku… hari ini aku hanya berharap mudah-mudahan semua ini bisa menghapus luka dan penantianmu selama seminggu ini…” Rena berujar…
Aku masih terdiam dan masih tidak percaya…
“Tiup lilinnya… tiup lilinnya… tiup lilinnya sekarang juga…” Arlen, Aden Oki dan tiba-tiba Adia sudah berada di antara kami, mereka serempak ber-chorus ria sambil bertepuk-tepuk tangan… diikuti beberapa pengunjung kafe yang juga sepertinya antusias dan ingin ikut dalam kegembiraan ini…
“Heh… malah bengong, ingat ga kata-kataku sewaktu kita ngobrol masalah cowok yang dinanti oleh Rena…?” Adia menyikut lenganku… “Laki-laki itu KAMU… si Nika ganteng…” Adia meyakinkanku… “Aduuh, malah tambah bengong… kamu tu cowok yang ga peka ato gimana sih…?” Adia geleng-geleng kepala kali ini…
Mendengar hal itu… aku… aku perlahan bisa tersenyum… menyadari akan arti semua kejutan ini… kutatap Arlen, Aden, Oki dan Adia… dari mimik wajah mereka tersirat bahwa mereka sudah tahu hal ini, pasti mereka yang merencanakan… kembali kutolehkan wajahku ke wajah Rena yang masih tersenyum bahagia malu-malu, kemudian kupandangi kue ultah itu dan meniup lilin…
“Dan aku bersedia menjadi kekasihmu… maukah kau menjadi kekasihku…” Rena melanjutkan pernyataannya diantara asap lilin yang masih beterbangan dihadapannya, matanya berkaca-kaca…
Rasa kejut belum hilang dari otakku, namun setelah bisa mengendalikan diri…
“AKU BERSEDIA…” kujawab mantap dan tegas sambil menatap matanya dalam… Rena kembali menitikkan air mata… dia tertunduk malu, wajahnyanya memerah…
Kuusap kepalanya pelan… “Kenapa harus menangis, itu hanya kata-kata… yang penting adalah pembuktiannya… akan kubuktikan sepanjang hidupku bahwa aku menyayangimu…”
Rena mengangkat wajahnya dan tersenyum… “TERIMA KASIH…” alunan merdu suara Rena mengalir didalam telingaku…
“Aku yang harusnya mengatakan itu padamu…” akupun membalas senyum bahagianya…

Matahari sore berwarna jingga keemasan mengirimkan sinarnya melewati sela-sela daun jati dan menerpa wajahku dan Rena… sinar kehangatannya seolah menyentuh dan menyirami hati kami… aku merasa sangat bahagia…


THE END

Tackey
2011-2012 Edge of Road, Sweet Orange n Edge Mosq

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Batagak Tunggak Tuo

Prompt #71: Her

Prompt #71: This Journey With You