UNTUK HATI YANG MENANTI
“Setiap orang pernah mempunyai orang yang dia sayangi...
Bukan keluarganya...
Bukan sahabatnya...
Tetapi dia orang yang menguasai hati, perasaan dan pikirannya...
Dia adalah orang yang tersayang... ”
Bukan keluarganya...
Bukan sahabatnya...
Tetapi dia orang yang menguasai hati, perasaan dan pikirannya...
Dia adalah orang yang tersayang... ”
Siang
yang cerah di kampus hijauku. Beberapa kelas telah menyeselesaikan kegiatan
belajar-mengajarnya di ruang-ruang Gedung C ini. Bak air bah yang datang
tiba-tiba, koridor gedung yang memanjang penuh sesak oleh mahasiswa yang
berhamburan keluar dari kelas mereka, tentu dengan wajah ceria. Aku menyusuri
koridor, setelah kuliah perbaikan metodologi penelitian usai. Di koridor sesak
tersebut aku kadang sedikit berusaha menyelip dan terjepit diantara
manusia-manusia berwajah ceria itu. Trritiitiitiiit… trritiitiit… kurasakan ponselku
berdering pelan dan bergetar dalam saku kanan celana. Setelah melepaskan diri
dari cengkeraman kesesakan di koridor, kukeluarkan benda kecil persegi panjang
yang berbunyi tadi, ada pesan masuk.
Kamu lagi apa…? Udah makan…?
Kalo udah pulang kuliah, langsung
ke pustaka…
cari bahan referensi skripsimu ya…
jangan lupa…
SEMANGAT!!!
From:
Rena
Aku
hanya tersenyum membaca pesan masuk darimu, angin sepoi-sepoi serasa berembus
di hati ini. Kulihat jam tangan, sudah jam 2… aku bergumam dalam hati. Ku
arahkan langkah menuju kantin. Tapi baru berapa langkah, kakiku berhenti. Teringat
sesuatu hal, aku memutar tubuh. Ok, ok, ke pustaka… aku bergumam kembali.
Dua
jam kuhabiskan waktu di pustaka pusat universitas yang tenang. Mencari defenisi
dan konsep, tapi hanya menghasilkan sedikit kepuasan, catatan-catatan referensi
hanya terisi setengah di kertas HVS ku. Ah, sudahlah, ntar aku bimbingan
lagi... aku masi blank dengan isi Bab
II skripsi ku… aku berkeluh sendiri. Ku kirimi Rena pesan bahwa aku sudah
mencari referensi di pustaka, namun hanya sedikit mendapat catatan referensi,
dan kembali dia membalas dengan “SEMANGAT!!!”, aku hanya bisa tersenyum (angin
sepoi-sepoinya masih ada).
Pukul
4 sore aku melangkah pulang. Ketika keluar dari gedung pustaka, langit berwarna
keemasan menyambutku. Sore yang indah menyambung siang yang cerah. Aku sedikit
terpukau juga kagum memandangi langit sore itu sambil terus berjalan menuju
parkiran tempat motorku menanti manis. Parkiran beratap yang bersih dan asri
itu mulai sepi dari kendaraan-kendaran.
Di
jalan baru terlihat jelas matahari yang indah itu mulai terbenam menuju tempat
peristirahatannya, kelelahan seharian menyinari bumi. Motorku melaju tidak
terlalu kencang, aku terus menikmati cuaca sore yang nyaman ini. Saat sedang
melaju itu, sekilas aku melihat sesosok wanita memakai seragam formal kantoran,
jas lengan panjang berwarna hijau krem dengan dalaman kemeja putih dan rok yang
dikenakan hingga lutut berwarna senada dengan jas. Dia sedang berdiri di
trotoar, ingin melintasi jalan. Kutepikan motorku, sekedar untuk melihat sosok
itu dari kejauhan, dan ternyata bukan, dia bukan Rena. Kukira sosok wanita itu
Rena. Aku hanya tersenyum, kemudian kulanjutkan perjalanan pulangku. Dasar.
Rena
Alisya Ferina. Ya, dia adalah teman dekatku saat ini (selain trio Aden, Arlen
dan Oki). Bekerja sebagai costumer service di sebuah perusahaan swasta terkenal
di kota ini. Dia sosok yang feminim, baik, ceria dan cantik tentunya. Satu hal
lagi, dia sangat dewasa. Selain karena umurnya memang dua tahun diatasku. Sebenarnya,
dulu dia seniorku di universitas, tetapi kami beda fakultas. Kami berkenalan
hampir satu setengah tahun lalu di sebuah acara blind date yang diadakan oleh teman-temanku dan teman-temannya.
Awal kedekatan kami karena di comblangin. Waktu itu dia sedang patah hati
setelah putus dari pacarnya. Aku sangat ingat, ketika kami jalan berombongan
dan kemudian teman-teman lainnya memisahkan diri dari kami, setelah hanya
berdua saja Rena terus diam. Namun dia tiba-tiba menangis, karena teringat lagi
tentang mantan pacarnya dan aku coba menghiburnya waktu itu. Sejak itu kami
mulai dekat, aku juga tak bisa bilang kami sangat dekat.
Seiring
waktu berlalu kami mulai saling perhatian. Rena selalu membantuku dalam
berbagai hal. Dia juga tak segan-segan curhat padaku, tentang keluarganya, sahabatnya,
mantan pacarnya, hal yang dia sukai, impiannya dan berbagai hal dia ceritakan
padaku. Ya, dia gadis yang menyenangkan. Aku juga telah mengenal keluarganya,
ayah, ibu, dan adik-adiknya. Dia anak sulung dan tipe pekerja keras (langsung
bekerja setelah lulus wisuda 6 bulan lalu). Gadis yang mengagumkan.
Karena
itulah teman-temanku bilang aku beruntung bisa dekat dengannya, mereka berulangkali
menyemangatiku untuk menembak dan jadian dengan Rena… Namun, entah mengapa,
hatiku masih takut untuk menjadikannya sebagai kekasih.
“Ayoolah
Nik… tembak diaaa…!!” Aden sering berseru begitu… pernah dia berseru
keras-keras dengan mulut penuh nasi goreng dan muncrat mengenaiku.
“Tunggu
apalagi Nik…!? Bidadari di depan kamu disia-sia in…? bidadari lo… bukan Agnes
Monica yang bisa dicari gantinya…” Arlen ga kalah lebay...
“Kamu
ini kenapa…? Dia cewe yang baiikk… kalo aku jadi kamu… aku akan jadiin dia
pacarkuu…!” Oki yang suka gemas dengan tingkahku ini memberi saran…
Entahlah…
apa aku terlalu bodoh atau memang sudah tidak peka sebagai seorang laki-laki…
Rena memang sangat baik padaku. Kami sering jalan berdua dan menghabiskan waktu
bersama. Aku bisa melihat dari matanya. Aku bisa merasakannya. Senyumannya, sinar
wajahnya, dia nampak sangat menyayangiku. Tapi, entah mengapa hal ini menjadi
beban bagiku. Aku merasa masih belum bisa mengemban tanggung jawab untuk menjaga
harapan-harapan Rena padaku. Aku takut menyayanginya, aku takut mengecewakannya.
Aku selalu berusaha membunuh perasaan ini ketika aku mulai merasa
menyayanginya. Aku merasa aku belum pantas menjadi miliknya. Namun disisi lain
hatiku, aku juga takut kehilangannya. Huufft…
***
“Impian…
apa impian yang selalu kita dambakan terhadap orang tersayang?
Ingin
selalu berada di sampingnya…
Ingin
selalu berbagi dengannya…
Ingin
membahagiakannya…
Dan
tentu saja immpian untuk ingin
memilikinya..,”
Sorepun
bertukar malam, kembali pesannya muncul di kotak masuk ponselku…
Haiii… selamat malam…
Apa kabarmu…? Eh… ada waktu ga…?
Kita jalan-jalan yuk…
Kalau kau bisa, aku tunggu di rumah
ya…
Kalau ga bisa, gapapa juga kok…^^
Aku
terdiam sejenak dikamar kontrakanku. Kegalauan melanda, berpikir apa yang harus
kulakukan. Kemudian aku mengambil jaket dan helm. Menjemput Rena ke rumahnya.
Dia telah menunggu. Ternyata dia ingin mengajakku melihat festival kembang api
di dermaga kota. Tanpa banyak basa-basi kami pun melaju kesana. Perjalanan ke
dermaga dipenuhi celoteh ria Rena. Dia tak berhenti menunjuk bintang-bintang
yang bertebaran menghiasi langit, malam itu. Suasana hatinya cerah sekali. Aku
hanya bisa senyum-senyum kecil mengikuti tingkahnya. Suaranya yang tenang dan
lembut seperti denting biola yang mengalun indah di telingaku. Tenang sekali.
Jalan
raya tepi pantai yang kami lalui cukup sepi walau lampu jalan menerangi
kesunyian. Kulihat ombak malam ini cukup besar. Deburan bunyinya terdengar
jelas. Analogi debur jantungku saat ini.
Dermaga
mulai kelihatan. Sayangnya belum sampai kami di dermaga, kembang api sudah
diluncurkan dan meletus memancarkan kemilaunya. Menghiasi langit malam yang
cerah dipenuhi bintang. Letusan pertama diikuti kembang api berikut dan
seterusnya. Melihat hal itu celoteh Rena lenyap seketika, dia menyuruhku
berhenti. Kuhentikan laju motor dan menepi. Dia langsung melompat turun dan
berlari kearah trotoar pembatas jalan yang membatasi daratan dengan lautan. Helm
masih terpasang di kepalanya. Kemudian dia terpaku di dekat pagar pembatas dan
memandangi kembang api dari sana. Aku menyusulnya, angin malam membuat rambut
panjangnya berkibar sehingga aku bisa mencium aroma wangi yang membuat
pikiranku sedikit berkelana namun kuusahakan kesadaranku tetap terjaga. Kemudian
berdiri disampingnya. Sejenak kami memandangi kembang api-kembang api
bertaburan dilangit dari kejauhan. Diiringi dengan bunyi letusan-letusan itu.
Kuarahkan pandanganku ke wajah Rena, dia benar-benar terpukau. Sinar matanya
memantulkan kerlap-kerlip cahaya percikan kembang api layaknya aku melihat
bintang-bintang bertaburan dilangit malam. Mulutnya sedikit ternganga. Sedetik
kemudian dia menggenggam tanganku. Aku sedikit terkejut seperti ada yang
menyentrum jantungku. Ombak besar kembali menghempas.
“Tanganmu
dingin…” dia berkata pelan, tenang, wajahnya masih memandangi kembang api…
Aku terdiam sebentar, dan menjawab… “Ya, karena aku bawa motor… dan aku lupa bawa sarung tangan…”
Aku terdiam sebentar, dan menjawab… “Ya, karena aku bawa motor… dan aku lupa bawa sarung tangan…”
“Kenapa…?
Apa kau terburu-buru menjemputku…?” Rena bertanya, pandangannya tak juga
beralih…
“Mmm… haha… mungkin…” Kali ini aku menjawab tersenyum…
“Mmm… haha… mungkin…” Kali ini aku menjawab tersenyum…
Namun
Rena terdiam, entah karena jawabannku yang diikuti tawa dan tersenyum itu
terasa jayus, garing atau aneh baginya. Aku juga mulai terdiam. Letusan-letusan
kembang api dan deburan ombak saling beradu ditelingaku. Kembang api kembali
mencuri pandanganku dari wajah Rena…
“Kau
tahu suasana hatiku saat ini…? Saat kita hanya berdua dan memandangi kembang
api?” Rena bersuara lagi diantara letusan kembang api dan deburan ombak…
Pertanyaan
itu serasa menghempas dadaku. Wajahku mengeras. Aku terdiam tak mampu menjawab
untuk sekedar menerka, begitu juga untuk memalingkan kepalaku memandang wajah
bidadari malam yang bernama Rena itu. Hanya bola mataku yang bergerak menuju
sosok Rena. Entah kenapa aku tak berani memandang penuh wajahnya kali ini?
Entah karena aku serasa ditelanjangi ketika melihat matanya dengan pertanyaan
itu? Aku tak berani. Aku grogi.
Kemudian
Rena menyambung kalimatnya… “Mungkin… sama seperti kembang api-kembang api yang
sedang meletus dan menaburkan keindahannya malam ini… suasana hatiku…”
DUAR!!
BLARR!! GLAAR! Letusan kembang api terdengar sangat deras kali ini. Aku
menjawab pernyataan Rena tadi dengan diam. Namun, pelan-pelan kupandangangi
Rena kembali… kulihat dia tersenyum, tetapi memandang kembang api. Aku ikut
tersenyum. Kamipun diam-diaman kembali diantara letusan dan deburan untuk
kembang api dan ombak. Genggaman tangannya makin erat memegang tanganku. Di lain
tempat dihatiku, letusan dan deburan juga sedang terjadi. Malampun semakin
pekat.
Tak
lama setelah festival kembang api usai, kami pun pulang. Rena hanya diam di perjalanan,
tidak riang ceria seperti biasa, akan tetapi dia terus mendekapku erat. Kurasakan
ia menyandarkan dagunya di pundakku, kurasakan dadanya, kurasakan detak
jantungnya. Kurasakan kelembutan dan kehangatan, nyaman sekali.
Diam-diaman
terus berlanjut. Malam yang tenang mengalir bak air di sungai dangkal, dengan
airnya yang jernih menampakkan batu-batu berwarna-warni di bawah sungai itu,
mengalir pelan melewati bebatuan. Tenang.
Sesampai
di rumah Rena. Waktu menunjukkan pukul 9 tepat. Aku menghela nafas lega. Karena
Rena hanya diperbolehkan keluar rumah sampai jam 9 malam oleh orang tua nya,
dan aku selalu berusaha untuk mentaati peraturan itu. Pernah beberapa kali kami
lupa waktu ketika kami jalan berdua dan telat pulang. Dia dimarahi. Walau
umurnya sudah 24 tahun, dia tetaplah seorang gadis biasa. Dia tetaplah porselen
yang amat berharga bagi keluarganya. Porselen yang mudah pecah jika tidak
dijaga dengan baik. Ya, aku sadari hal itu…
Setelah
pamit kepada kedua orang tua dan adik-adiknya, akupun pulang kembali ke
kontrakanku.
Sesampai
di kamar… aku memberi tahu Rena bahwa aku sudah sampai di kontrakanku… dan dia
membalas…
Terimakasih banyak waktumu…
Untuk malam ini ya…
Suasana hatiku masih seperti
kembang api-kembang api tadi…
Aku
tersenyum membaca pesannya namun hatiku terus bertanya-tanya. Apa maksud
perkataan tentang suasana hatinya yang tergambar seperti letusan kembang api
itu? Malam bergulir semakin pekat.
***
“Kisah
cinta memiliki banyak cerita…
Terutama
tentang cerita indah dan akhir bahagia…
Namun,
kadang cinta tidak semudah yang dibayangkan…”
Matahari
tepat diatas kepalaku, di siang yang cerah itu kutemui Arlen, Aden dan Oki.
Kuceritakan kejadian kemarin malam… mereka serempak menjawab… “APA YANG KAMU
TUNGGU LAGIII…!!!”
“Menurutku
itu adalah sinyal dari dia…” Arlen berpendapat…
“Emang
hape, pake sinyal…” Oki nyela Arlen… Arlen manyun…
“Setuju,
kamu kelamaan siiih…! Ayo broo…! Aah… kecewa, kecewa, kecewa… momen tepat
banget tuh tadi malam…” Aden menyikut rusukku…
“Apa
yang ada dipikiranmu saat ini…?” Oki bertanya serius padaku… dia menatap lamat…
Aku
menghela nafas… “Entahlah…”
“Apa
yang akan kamu lakukan selanjutnya pada Rena?” Oki meneruskan…
“Aku
belum tau…”
Oki
masih menatapku… “Apa kata hati kecilmu? Dengarkan… kalau kamu hanya bercerita
pada kami… sementara kamu masih ragu dengan jawaban yang kami beri… semua ga ada
gunanya…” perkataan Oki menyusuri relung-relung hatiku…
“Kamu
takut…?” Pertanyaan Oki terus menghujam… aku hanya diam… “Mana yang lebih kamu
takutkan…? Kamu mengakui isi hatimu padanya dengan resiko apapun… atau kamu
akan kehilangan dia karena dia telah menjadi milik orang lain tanpa pernah tau
apa isi hatimu sebenarnya…?” Kali ini keheningan menghempas hatiku… “Cinta
tidak semudah itukan…?” Kata-kata terakhir menyadarkanku… kubalas tatapan Oki,
kemudian Arlen dan Aden…
“SEMANGAAAATTT!!!”
mereka bertiga serempak mendekapku…
***
“Ya, cinta tak semudah yang kau perkirakan…”
Senin
sore setelah kuliah usai, ponselku kembali bergetar. Ada pesan masuk. Kulihat,
dari Adia.
NIkkaAAaa ganteeng… daah sombooOong
ya sekarang…
Mentang2 udah skripsi… jarang deh
sms ato telpon Adia…
Lagi apa kamu?? Ada waktu ga?? Kita
ketemuan yuuk…
Kita berdua ajaah… di café tempat
acara jodoh2an dulu…
Aku tunggu 30menit ya… aku yang
traktir deeh…
Awas klo ga dateng… (*,*)
Hehe…
aku tertawa kecil membaca pesan dari Adia…
Adia
Faisa Deva. dia sahabat dekat Rena, paling dekat malah. Rena bersahabat
semenjak SMP dengan Adia. mereka sudah seperti saudara. Adia juga sudah
bekerja, di tempat yang sama dengan Rena, tapi Adia baru 4 bulan disana. Apakah
gerangan dia mengajakku ketemuan kali ini? Tentang Rena kah…? Namun, kami
jarang bicara tentang Rena jika berdua. Kadang aku merasa Adia seperti
menungguku membuka topik tentang Rena. Sayangnya aku jarang memenuhi
keinginannya itu.
Sekitar
20 menit kemudian aku sudah sampai di café kecil yang cukup nyaman itu. Kulihat
Adia duduk di sudut ruangan yang berjendela kaca besar menghadap ke jalan. Dia
sedang sibuk dengan ponsel touchscreen-nya.
Aku melangkah menghampiri tempat duduk Adia. Tubuhnya masih berbalut seragam
kantor, mungkin baru pulang. Dia menyadari kedatanganku lalu tersenyum.
“Haiii…
makin ganteng aja kamu…” Dia menggodaku.
Aku
cuma tersenyum kemudian duduk. Kami duduk berhadapan… “Tapi sayang Adia…” aku
menjawab godaan Adia tadi.
“Ha…?
Sayang kenapa…?” Adia penasaran.
“Lum
ada yang punya…” Aku melanjutkan tersenyum.
Adia
awalnya terdiam menatapku sebentar tapi setelah nyambung baru dia tertawa
kecil, begitu juga aku.
“Tapi
ada hal lain yang juga disayangkan Nikaa…” Adia menyambung.
“Hmm…?
Sayang apa lagi…?” Kali ini aku yang penasaran.
“Sayangnya
aku juga udah ada yang punya… kalo ngga aku mao kok gebet kamu… ga ada doa
penolak rejeki sihh… hehehe…” Mendengar balasan Adia akupun tertawa…
“Eh…
kamu pesan apa sore-sore gini…?” Adia bertanya
“Mmm…
apa ya…? Kopi Susu Krim aja deeh…”
“Minum
doang…?”
“Mmm…
ya… lagi diet…” Aku nyengir…
“Helllooow…?
Sejak kapan kamu diet? Badan udah ceking begini…”
“Hahhaha…
bencanda kok… bercanda…”
“Bener
ga makan niih…? Jarang-jarang lo aku traktir…?” Adia bertanya lagi…
Aku
menggeleng tersenyum, meyakinkan Adia.
Lalu
Adia bangkit dari meja kami, berjalan menuju meja pesanan… tak lama dia datang
bersama pelayan yang membawa nampan pesanan…
“Tumben
Adia lagi baik? Sampe ntraktir segala…? Ada acara apa nih…?” Aku memulai
pembicaraan serius itu…
“Hehe…
mmm… menelaah pernyataan kamu tentang ‘sayang kamu lum ada yang punya’ tadi…
aku mo nyambung… bagaimana kalo ada seorang gadis cantiiikk… baiiikk…
mandiriii… yang mau ama kamu…? Nolak ga…?” Adia langsung nyerocos sambil menatapku
serius…
Aku
terdiam sejenak… jantungku berdebar… darahku berdesir…
“Kamu
ngomongin Rena ya…?” Aku berkata ragu…
“E..EEe…
Kok kamu berpikiran kesitu…?” Adia langsung menatapku dengan mimik curiga…
“Eh…
oohh…” Aku salah tingkah… “Aa… aku hanya mencoba menerka isi hatimu…” Kujawab
sekenanya, tapi tampang selidik Adia makin membuatku gelagapan… “Mmm… lagian
kamu kan teman dekat dia… lagipula Rena ga ada diantara kita sekarang, mungkin
kamu ingin membicarakan Rena… ato mungkin Rena sering cerita tentang aku ke
kamu, ato kamu suka pinjam ponsel Rena lalu melihat pes-…an… ku… di-…” Aku coba
mengelak tapi kemudian ternganga sambil menutup mulut… kulihat Adia mulai
tersenyum lebar… tatapan seriusnya berubah menjadi tatapan kemenangan… seperti
orang lagi dapat ikan besar dan berteriak… [yeaaaahh!! Dapat kau… hahahahha…!]
“Aaa…
eee… kenapa kamu tersenyum…?” Aku makin serba salah…
Dia
masih tersenyum kemudian berkata… “Hehe… Aku tidak bisa menjawab sekarang siapa
gadis itu… tapi aku sangat mendukungmu… jika kamu jadian ma Rena… mungkin, itu
masih sebuah harapan… aku juga tak ingin memaksamu… itu semua terserah kamu dan
Rena kan…?”
“Aaa…
maksudnya…?”
“Mmm
ga bermaksud apa-apa… hanya berharap aja…”
Aku
hanya bisa hening,… memikirkan ucapan Adia yang sangat mengena tadi…
Dia
berharap padaku…
“Apa
menurutmu Rena sudah punya pacar…?” Adia meneruskan kata-katanya…
Jantungku
kembali berdebar… darahku berdesir… kenapa? Apa salahnya jika Rena sudah punya
pacar…? Dia juga bukan siapa-siapa bagiku… kami cuma teman dekat… ya… itu saja…
tapi? Kenapa Adia berkata seperti itu padaku?
“Kenapa
kamu nanya gitu…?”
Adia
mengangkat kedua alisnya… “Hanya ingin tahu pendapatmu saja… kan kamu dekat
dengan dia…?”
Ohh…
Adia makin menggiringku pada jebakannya… aku berusaha mengontrol diri untuk tak
terlihat salah tingkah lagi, walau sebenarnya hatiku bergemuruh… “Aku tidak
tau… aku menilai dia seorang gadis yang baik… dia cantik… dia manis… dia supel…
dia mandiri… dia hampir sempurna, mudah baginya untuk didekati lelaki manapun…
dan memilih mereka yang terbaik untuk dijadikan pendamping hidupnya… aku hanya
bisa menjawab, mungkin dia sudah punya pacar…” Aku berkata sedikit tercekat…
Adia
masih menatapku… tapi tatapannya datar kali ini… kembali hening menghadiri kami
berdua…
“Dia
belum punya pacar… tapi dia sedang berjuang melawan rasa penantiannya… menunggu
seseorang…”
Aku
terpana mendengar kata-kata Adia barusan… Darahku makin berdesir dan hatiku
bertanya-tanya…
“Seseorang…?”
“Ya…
seseorang yang dekat dengannya… sangat dekat malah… bisa dibilang bahkan lebih
dari sekedar teman…” Adia masih menatapku datar… “Baru kali ini dia kulihat
sebahagia ini… semenjak aku bersahabat bersamanya… namun, disisi lain dia juga
tersiksa dalam penantiannya… dia selalu terlihat bahagia ketika menceritakan
tentang ‘seseorang’ itu… tetapi kadang dia juga menangis ketika dia bercerita
tentang penantiannya dan bertanya, apa ‘seseorang’ itu juga menyayanginya atau
tidak…?” Adia berhenti… sejenak ia menyeruput jus jeruknya…
Aku
masih terpana… membisu… bertanya-tanya…
Adia
meneruskan… “Ya, dia terus menanti kebahagiaannya terwujud… namun jika
seseorang itu sama sekali tidak menyayanginya… dia rela dan akan menerima hal
itu dengan tulus… yang ia ingin ketahui hanyalah perasaan seseorang itu
kepadanya… itulah kebahagiaannya yang sebenarnya… dia akan tetap menyayangi
seseorang itu… walau seseorang itu sama sekali tidak menyayanginya… berada di
dekat seseorang tersebut sudah cukup baginya…” Adia berhenti lagi berujar
sambil menatapku… seperti ingin mengetahui reaksiku… hanya riuh rendah suara
café yang terdengar diantara keheningan kami…
“Ja-…
jadi selama ini Rena menyayangi seseorang itu…?” Aku masih tercekat…
Kenapa…?
Kenapa hatiku harus tertusuk begini…? Memangnya kenapa jika Rena mencintai laki-laki
lain…? Apa salahnya…? Aku juga bukan siapa-siapanya…
“Yaa…
bagiku, dia menunggu cukup lama…” Adia mengubah posisi duduknya…
Hatiku
belum berhenti bergemuruh mendengar kata-kata Adia… ya, walau aku dekat dengan
Rena dan selalu mendengar semua tentang dirinya yang ia ceritakan sendiri
padaku, akan tetapi satu hal yang tidak pernah kudengar darinya adalah dengan
siapa saja lelaki yang dekat dengannya selain aku… Rena tak pernah bercerita,
kecuali tentang mantan-mantan pacarnya yang sudah tak lagi berhubungan
dengannya… ya, kusadari itu…
***
“Kadang,
harapan dan impian yang besar tidak mudah mengembannya…”
Besoknya
aku mengajak Rena untuk jalan berdua. Dia langsung meng-iya-kan jawabanku,
dengan senang hati ‘sepertinya’. Aku berencana berbicara serius dengannya
tentang hubungan kami ini. Ya, setiap ucapan Arlen, Ade, Oki dan Adia kemarin
masih terekam kuat di otakku. Semalaman batinku berperang hebat,
mempertimbangkan apa yang harus kulakukan. Akhirnya aku teringat kata-kata Oki…
“Mana yang lebih kamu takutkan…?
Kamu mengakui isi hatimu padanya dengan resiko apapun… atau kamu akan
kehilangan dia karena dia telah menjadi milik orang lain tanpa pernah tau apa
isi hatimu sebenarnya…?”
Maka
aku bulatkan tekad dan memutuskan untuk berkomitmen pada Rena dan mengakui
perasaan ini padanya apapun yang terjadi nanti, ini adalah hidupku.
Aku
menjemput Rena di depan kantornya sabtu sore itu. Dia kelihatan sangat senang,
bukan ‘sepertinya’ lagi. Aku langsung mengajaknya jalan dengan segala rencana
yang tersimpan di otakku. Namun saat kami berboncengan gemuruh hebat kembali
melanda hatiku, perasaan grogi dan gugup menjalari syaraf-syaraf di tubuhku.
Entah kenapa tiba-tiba rasa takut kembali menggelayuti. Takut akan kehilangan
Rena jika aku bicara serius dengannya. Takut Rena akan salah paham tentang aku
dan menjauh ketika kami membicarakan hubungan kami selama ini, dan takut jika
ternyata benar Rena sedang menanti seorang lelaki selain aku. Mungkin yang
terakhirlah yang paling menyakitkan.
Aku
banyak diam, dan Rena membaca keadaanku dengan baik…
“Kamu
kenapa? Kok banyak diam…?”
“Aa…
mmm kurasa kepalaku sakit perut…” kujawab asal…
Rena
tertawa dan memukul helm ku lembut… “Garing…”
Akhirnya,
kami berhenti di sebuah kafe kopi kecil dekat kampus ku, mantan kampus Rena.
Kami duduk pada sebuah meja bulat kecil beralaskan kaca tebal dengan 2 tempat
duduk rotan yang saling berhadapan. Rena langsung berceloteh.
“Kafenya
asyik ya…? Enak…” dia tersenyum.
“Yaa…
aku sering kesini belakangan ini. Kalo lagi suntuk.”
“Hmm…
kok baru kali ini ngajak aku kesini…? Emang kopinya enak-enak?”
Aku
tersenyum… “Favoritku Carribean Nut Coffe Milk… coba deeh…”
“Ehehehee…
aku lebih suka milkshake aja… atau es krim ada ga…?”
“Kurasa
ada… mau mana? Milkshake ato es krim…?”
“Mmm…
Es Krim aja… Mau… mau… mauu…”
“Ntar
kamu gemuk lo…?” aku bercanda…
“Biarin…”
Rena sewot…
Aku
tertawa kecil dan mengusap rambut lembutnya, kemudian beranjak ke meja pesanan lalu
memesan. Setelah selesai memesan aku kembali duduk di hadapan Rena. Rena hanya
senyum-senyum saja memandangku.
“Kenapa?
Apa wajahku makin jelek…?”
Senyumnya
makin lebar, menahan tawa… “Sensi amat. Ya terserah aku dong kalo mau senyum.
Mang ga boleh?”
“Hehe…
cuma penasaran aja…” kali ini aku yang tersenyum.
“Tumben
kamu ngajak aku jalan? Biasanya selalu inisiatifku…” dia bertanya dengan mimik pura-pura
cemberut. Aku kembali tersenyum.
“Mang
ga boleh aku ngajak kamu jalan…?”
“Yaaa…
boleh siih… tapi jarang jarang kayak gini…”
Lagi
ku jawab dengan senyuman…
“Senyam-senyum
ga jelas aja dari tadi kamu…” tampang Rena yang makin cemberut itu sangat lucu…
membuat tawaku pecah dan kualihkan pandanganku dari wajahnya…
“Ada
yang mau di omongin…?” selidiknya.
Pertanyaan
Rena kali ini tepat mengenai sasaran… Tawaku perlahan berhenti tetapi mulutku
tetap ternganga…
“Aaa…”
kembali kupandangi wajah Rena, mata kami beradu… hatiku bergejolak tak mampu
menahan sesak ini, ingin kunyatakan bahwa aku sangat menyayanginya, akan tetapi
tak ada kata yang terucap dari mulutku yang ternganga… aku kemudian tertunduk,
kedua tanganku mengepal di paha…
“Nika?
Kenapa? Mukamu kok jadi merah gitu… kamu sakit ya…?” tangan halusnya menyentuh
keningku dengan lembut… “Ngga panas kok…” Rena makin heran…
“Rena…”
tiba-tiba suaraku keluar… kuangkat wajahku dan menatap Rena dalam…
“Eh,
ya…?” Rena heran sambil mengenggam tangan kanannya didada…
“Apa
ada seorang laki-laki yang dekat denganmu saat ini…?” makin dalam kutatap kedua
bola mata itu…
Rena
hanya terdiam… mulutnya sedikit terbuka, ia tertegun memandangku… tak ada
jawaban… kurasakan dalam hati ini jawabannya adalah ‘ya’… “Dia belum punya pacar… tapi dia sedang berjuang melawan rasa
penantiannya… menunggu seseorang…” kata-kata Adia menyeruak di pikiranku… “Ya… seseorang yang dekat dengannya… sangat
dekat malah… bisa dibilang bahkan lebih dari sekedar teman…” ternyata
benar, bukan aku laki-laki yang ditunggu Rena… raut wajah Rena tak berubah, dia
sepertinya mengkhawatirkan aku yang tampak kecewa… namun sekuat tenaga aku tersenyum
(entah untuk kepahitan atau kebahagiaan), agar kekhawatirannya sedikit hilang…
ya, walau berat menerima hal ini… kuhela nafas…
“Kamu
sayang ya padanya…?” kembali aku bertanya…
Tetapi
Rena masih membisu…
“Hmmm…
dari wajahmu, sepertinya tebakanku benar… hehe…” kembali sekuat tenaga aku
tersenyum…
Lalu
kami terdiam sejenak… kemudian…
“Sudah
satu setengah tahun berlalu yah…?” aku memulai tahap pengakuan perasaanku…
“Sudah
satu setengah tahun sejak aku mengenalmu, kita berkenalan…”
“Dan
selama itu pula aku banyak melalui waktu yang bahagia, terutama ketika berada
disampingmu…”
“Mengenal
sosok gadis yang baik, cantik, manis, supel dan mandiri sepertimu… adalah
sesuatu yang sangat berharga bagiku… aku juga bersyukur bisa dekat denganmu…
bercerita, berbagi, tertawa dan melakukan banyak hal…” kata-kata ku mengalir
keluar dari hati… perasaanku mulai tenang…
“Dan…
dari waktu ke waktu kusadari, setiap kita bertemu dan kemudian berpisah… ada
hal yang kutakutkan… aku takut jika suatu hari tak bisa bertemu dengan mu lagi
ketika kita berpisah… aku takut kehilanganmu… ya, kusadari itu…”
“Awalnya
aku ragu dengan perasaan ini dan sering menekan egoku untuk tidak mengatakannya
padamu… ya aku takut… sangat takut… namun teman-teman, Aden, Arlen dan Oki
selalu mendukungku dan menumbuhkan rasa bahagia itu lagi di hatiku… begitu juga
dengan statusku yang hanya mahasiswa, sementara kamu sudah bekerja… hal ini
juga menjadi pertimbanganku…”
“Akan
tetapi aku juga hanya manusia biasa… tak semua hal bisa kuatasi… begitu juga
rasaku ini… apakah ini yang dinamakan cinta? Aku tidak tahu…? Yang aku tahu,
aku mengenal sosok gadis mandiri yang manja, yang selalu menyemangatiku untuk
mengerjakan skripsi… dia sangat suka es krim, juga suka mengajak ku jalan-jalan
di malam hari setelah dia pulang bekerja, kadang dengan sedikit paksaan… ketika
dia kubonceng pulang dia suka tertidur… dan yang aku tahu aku sangat nyaman
bila berada di dekat dia… ya, sangat bahagia dan tak pernah bosan memandanginya
setiap saat…” kupandangi Rena lamat… matanya mulai berkaca-kaca…
“Kurasa
inilah momen yang tepat untukku… dengan tulus kukatakan padamu… AKU
MENYAYANGIMU…” akhirnya keluar juga kata-kata itu dari mulutku… kulihat Rena
menitikkan air mata, tubuhnya bergetar menahan tangis… ia menutup mulutnya
dengan telapak tangan, dia tertunduk dan perlahan menangis…
“Re-…
Rena…” aku jadi bingung…
Rena
bangkit dari tempat duduk sambil tertunduk dan air matanya menitik… dia
berjalan menjauhiku…
“Re-…
Rena…” akupun ikut bangkit dari tempat duduk untuk mengejarnya… “Ren-…”
Sebelah
tangannya terangkat tertahan, mengisyaratkan agar aku jangan mengejarnya… aku
berhenti membeku… Rena makin jauh… jauh… dan menghilang dari pandanganku… aku hanya
bisa terdiam… terpaku…
“Dia belum punya pacar… tapi dia
sedang berjuang melawan rasa penantiannya… menunggu seseorang…”
kembali terngiang kata-kata Adia di benakku…
“Ya… seseorang yang dekat
dengannya… sangat dekat malah… bisa dibilang bahkan lebih dari sekedar teman…”
Aku
termagu, terpekur, dan ternyata benar… seseorang tersebut bukanlah aku…
“Cinta tidak semudah itukan…?”
Kali ini kata-kata Oki menyeruak…
Ya,
cinta tak semudah yang aku bayangkan… semua yang kuperkirakan tentang Rena
hanya harapanku belaka, hanya perasaanku… tapi bukan perasaan Rena…
Malamnya,
telah kucoba menghubungi Rena… tapi tak pernah diangkat panggilanku… kucoba
menghubungi Adia, dia mengatakan Rena telah cerita padanya. Adia tidak tau
harus berbuat apa, dia menyarankan agar aku tetap tenang dan coba menghubungi
Rena setelah dia tenang. Kuhubungi juga Arlen, Aden dan Oki. Mereka bersimpati
dan langsung mendatangi kontrakanku, menghiburku, mengajakku refreshing
berkeliling kota. Walau sebenarnya malam itu kebersamaan kami sangat
menyenangkan, tetapi hanya kehampaan yang mengisi hatiku, semua terlihat
abu-abu… tidak jelas. Kata-kata Adia terus berputar di pikiranku… “Dia belum punya pacar… tapi dia sedang
berjuang melawan rasa penantiannya… menunggu seseorang…”
“Ya… seseorang yang dekat
dengannya… sangat dekat malah… bisa dibilang bahkan lebih dari sekedar teman…”
“Ya, dia terus menanti
kebahagiaannya terwujud…”
Tanpa
sadar, buliran bening mengalir dari mataku… buliran-buliran lain pun mengikuti,
mencoba mengurangi kepedihan ini… menyiram dan membasahi gersangnya perasaanku…
menyadarkan betapa naïf-nya diriku yang ternyata menyimpan harapan-harapan
besar nan hampa pada Rena. Entah mengapa, malam terasa sangat lama, kuingin
pagi cepat datang dan melupakan semuanya.
***
“Kadang,
harapan dan impian yang besar tidak mudah mengembannya…
Apalagi
ketika kita tau harapan dan impian itu tak akan pernah terwujud…”
Besoknya
kulewati hari dengan kekosongan… hampa… serasa ada yang kurang saja… kuikuti
perkuliahan dengan pikiran yang selalu melayang pada harapan-harapan yang terus
memudar… untuk sekedar tersenyum lepas saja susah apalagi untuk tertawa… aku
tidak seperti biasanya, ya aku terpuruk sangat dalam… Arlen, Aden dan Oki
sepertinya mengerti keadaan yang sedang terjadi…
Seperti
malam sebelumnya, malam ini mataku kembali sulit terpejam. Sudah empat hari
kulalui tanpa tau apa kabar Rena. Senyumannya, wajah riangnya, tatapan matanya,
aroma tubuhnya, ahk! Bayang-bayang Rena terus berputar dikepalaku. Begitu juga
harapan bodohku ini ‘jika kami
ditakdirkan bersama, maka kami akan dipertemukan disuatu tempat’… huh, sungguh
bodoh sekali. Apakah aku benar-benar mencintai Rena? Pertanyaan itu lagi.
Kadang mencintai tak harus memiliki. Mencintai juga berarti kau harus siap melepaskan
orang yang kau cintai dan membiarkannya bahagia. Cinta benar-benar tak semudah
yang kubayangkan.
Hari
ini adalah hari ketujuh atau seminggu setelah aku mengakui perasaanku pada
Rena… namun, dia menolakku… resiko harus kutanggung, walau aku sudah
mempersiapkan diri untuk menghadapi hal ini, tetapi tetap saja sulit kuterima.
Ya, biarlah waktu yang menjawab…
“Heh…
Ngelamun lagi…” suara Arlen menyadarkanku dari kesemuan… kami berempat sedang
di kafe fakultas…
“Tuh
habisin nasi gorengmu…” Arlen meneruskan…
Kulihat
nasi goreng pesananku, sebagai jamak makan siang di sore itu… sebenarnya nasi
goreng kafe fakultas ini adalah jajanan favoritku, namun entah kenapa kali ini
seleraku tidak seperti biasanya… dan keramaian di kafe ini benar-benar
menyadarkanku bahwa aku berada di dunia nyata, bukan di alam lamunanku… tetapi
keramaian ini tidak menulari hatiku yang selalu dihinggapi sepi…
Trritiitiitiiit…
trritiitiit… kurasakan ponselku berdering pelan dan bergetar dalam saku kanan
celana. Ada pesan masuk, hatiku bergetar hebat… aku merasa pesan ini dari Rena…
kubuka pesan itu cepat…
Kamu lagi dimana…?
Unknown Number
Huuuufftt…
sialan, kenapa hari gini ada pesan dari nomor tak dikenal… tidak liat-liat
suasana apa… aku menggerutu dalam hati… siapa sih ini? Kurasa teman
se-jurusanku yang make nomor baru, mungkin pengen nanya tugas atau minta bahan
kuliah, atau apalah. Kubalas pesan tersebut singkat… Aku lagi di kafe fakultas, ini siapa…? Kalo ada perlu kesini aja…
Tak
lama kemudian si ‘unknown number’ membalas lagi…
Ok, tunggu aku disana ya…
Yo
wes lah… kusendokkan nasi goreng ke mulut, melanjutkan makan siang, mengobati
kedongkolan hatiku yang terlalu berharap… namun beberapa saat kemudian seorang cowok
tak dikenal entah darimana datangnya memberikannku secarik kertas yang
terlipat.
“Dari
seseorang…” dia berbisik padaku kemudian berlalu pergi…
Aku,
Arlen, Aden dan Oki saling berpandangan bingung… lalu mataku beralih pada
kertas terlipat yang berada di hadapanku…
“Apaan
isi kertasnya…?” Oki berujar penasaran…
“Waaah…
sapa tau lotre 1 triliun!!” Aden ngaco…
Kubuka
lipatan kertas perlahan… dan kudapati sebuah tulisan…
Untuk orang yang sangat kusayangi,
Nika Harianza Ramadhan
“WOOOAAAA…”
Arlen dan Aden serempak bersuara… tapi cepat-cepat mulut mereka ditutup Oki,
menghentikan suara WOOOAAAA yang cukup keras itu…
Setelah
suasana tenang kulanjutkan membaca…
Nika, sebenarnya aku tak tahu harus
berbuat apa, hanya saja, aku sangat bahagia ketika menulis surat ini untukmu…
Dahiku
mulai berkerinyit, surat cinta ya…? Tapi dari siapa? Apa ini jawaban Tuhan atas
penolakan cintaku? Tuhan menjawab dengan cara lain… aku tersenyum sendiri dan
melanjutkan membaca…
Ya, aku sangat bahagia. Kau adalah
impianku, kau adalah pelita hatiku, pijakan hidupku, harapan-harapanku sebelum
tidur dan menjadi bunga penghias mimpiku, beneran deh… hehe.
Kau tahu? Aku bukanlah seseorang
perangkai kata yang baik… namun aku telah berusaha sekuatnya untuk menulis ini
untukmu…
Kau tahu?Aku adalah pemuja rahasiamu…
yang selalu memuja kelemahan dan kelebihanmu…
Kau tahu? Bahwa kita telah bertemu?
Aku bahagia telah bertemu denganmu, aku bahagia telah mengenalmu. Kau tahu
betapa bahagianya aku ketika bertemu denganmu.
Kau tahu? Kita pernah melewati hari
bersama.
Kau tahu? Aku selalu bercerita
padamu, walaupun bukan cerita menarik penghibur hatimu melainkan cerita
membosankan yang berisi tentang aku, aku, aku, dan aku lagi. Tetapi, kau tak
pernah bosan dan selalu antusias mendengarnya.
Kau tahu? Bahwa aku benar-benar
menyayangimu. Aku benar-benar sangat menyukaimu, aku tidak bisa berhenti
menyukaimu. Bahkan akupun tidak bisa berpura-pura untuk tidak memperlihatkan
rasaku ini padamu sehingga aku merasa kesannya aku memintamu untuk menyukaiku
juga. Tetapi itulah, aku juga bingung sendiri kenapa aku seperti itu… ya,
jawabannya cuma satu, yaitu karenamu…
Dan… apakah kau tahu? Hari itu kau
menyatakan perasaanmu padaku… hari dimana hari yang sangat-sangat kuimpikan
selama ini, dimana harapanku seperti menjadi kenyataan? Dan memang kenyataan!?
Apakah kau tahu bahwa saat kau
menyatakan perasaanmu padaku betapa bahagianya aku, hingga aku hanya bisa
menitikkan air mata bahagia ini dan kebingungan yang amat sangat melanda
hatiku.
Kau tahu? Seharusnya aku siap akan
hal itu, tetapi entah kenapa aku tidak siap? Aku merasa aku terlalu bahagia dan
tak tahu harus berbuat apa…? Malah menangis dan berlari meninggalkanmu…
Kau tahu? Sesampainya di rumah aku
langsung memeluk ibuku dan menciumnya berkali-kali kemudian berlari ke kamarku
dan mencari fotomu dan kucium berkali-kali juga lalu meloncat-loncat
kesana-kemari… ya, aku sangat bahagia…
Kemudian, ketika kau coba
menghubungiku… dan entah bagaimana aku merasa takut, untuk berbicara padamu,
takut karena kegugupanku, aku takut kalau aku terlihat bahagia setelah kau
‘menembak’, aku takut kau mengetahui itu…? Mungkin aku gila ya? Ya, gila karena
kamu…
Kau tahu? Bahwa aku sering
bercerita di kantor tentang kamu, bahwa aku selalu menantimu… dan hari itu,
dengan bangga kuceritakan pada teman-temanku bahwa sekarang aku benar-benar
mempunyai seorang kekasih yang kudambakan dan dia telah memilikiku sekarang…
ah… aku merasa menjadi orang paling bahagia di dunia… karena apa? Ya karena
kamu… dan penantianku berakhir indah…
Terakhir… dan kau tahu…? Siapa
orang yang berdiri dibelakangmu saat ini…?
Isi
tulisan dikertas berakhir aku sedikit terkesiap dan perlahan kupalingkan
wajahku kebelakang…
DEG…!
DEG…!
DEG…!
Rena…
dia telah berdiri tepat di belakangku… membawa kue blackforest yang ditaruh 2
buah lilin diatasnya, yang menunjukkan angka 22… sambil tersenyum manis dia berjalan
pelan ke arahku sambil menenteng kue itu dihadapannya seperti gadis pembawa
bendera di upacara kemerdekaan… aku ternganga melihatnya kali ini… dia begitu
cantik, bahkan hampir seluruh mata di kafe ini tertuju pada Rena… seketika aku teringat…
hari ini ulang tahunku yang ke-22…
“Kurasa
inilah momen yang tepat…” Rena berkata…
“Dengan
tulus kukatakan padamu… AKU JUGA MENYAYANGIMU… selamat ulang tahun Nika…” Rena
menyodorkan kue padaku…
“Yeehe…!!!
WooHooo…!!!” Trio Arlen, Aden dan Oki serempak bersorak dan menepuk-nepuk dan
mengguncang-guncang pundakku…
Aku,
aku terdiam tak menyangka… lalu kupandangi kue ultah itu… ‘Kupersembahkan Rasa Sayang
Ini Untukmu’ tertera tulisan yang terbuat dari mentega putih menghiasi kue
ulang tahun itu… aku masih tak percaya dan ternganga…
“Maafkan
aku yang bodoh ini… baru kemarin aku bisa memutuskan untuk berani bertemu
denganmu, aku telah banyak membuang waktuku dan terus melukaimu… maafkan aku…
hari ini aku hanya berharap mudah-mudahan semua ini bisa menghapus luka dan
penantianmu selama seminggu ini…” Rena berujar…
Aku
masih terdiam dan masih tidak percaya…
“Tiup
lilinnya… tiup lilinnya… tiup lilinnya sekarang juga…” Arlen, Aden Oki dan
tiba-tiba Adia sudah berada di antara kami, mereka serempak ber-chorus ria sambil bertepuk-tepuk tangan…
diikuti beberapa pengunjung kafe yang juga sepertinya antusias dan ingin ikut
dalam kegembiraan ini…
“Heh…
malah bengong, ingat ga kata-kataku sewaktu kita ngobrol masalah cowok yang
dinanti oleh Rena…?” Adia menyikut lenganku… “Laki-laki itu KAMU… si Nika
ganteng…” Adia meyakinkanku… “Aduuh, malah tambah bengong… kamu tu cowok yang
ga peka ato gimana sih…?” Adia geleng-geleng kepala kali ini…
Mendengar
hal itu… aku… aku perlahan bisa tersenyum… menyadari akan arti semua kejutan
ini… kutatap Arlen, Aden, Oki dan Adia… dari mimik wajah mereka tersirat bahwa
mereka sudah tahu hal ini, pasti mereka yang merencanakan… kembali kutolehkan
wajahku ke wajah Rena yang masih tersenyum bahagia malu-malu, kemudian kupandangi
kue ultah itu dan meniup lilin…
“Dan
aku bersedia menjadi kekasihmu… maukah kau menjadi kekasihku…” Rena melanjutkan
pernyataannya diantara asap lilin yang masih beterbangan dihadapannya, matanya
berkaca-kaca…
Rasa
kejut belum hilang dari otakku, namun setelah bisa mengendalikan diri…
“AKU
BERSEDIA…” kujawab mantap dan tegas sambil menatap matanya dalam… Rena kembali
menitikkan air mata… dia tertunduk malu, wajahnyanya memerah…
Kuusap
kepalanya pelan… “Kenapa harus menangis, itu hanya kata-kata… yang penting
adalah pembuktiannya… akan kubuktikan sepanjang hidupku bahwa aku
menyayangimu…”
Rena
mengangkat wajahnya dan tersenyum… “TERIMA KASIH…” alunan merdu suara Rena
mengalir didalam telingaku…
“Aku
yang harusnya mengatakan itu padamu…” akupun membalas senyum bahagianya…
Matahari
sore berwarna jingga keemasan mengirimkan sinarnya melewati sela-sela daun jati
dan menerpa wajahku dan Rena… sinar kehangatannya seolah menyentuh dan
menyirami hati kami… aku merasa sangat bahagia…
…THE END
Tackey
2011-2012
Edge of Road, Sweet Orange n Edge Mosq
wahhh.., wahhh... ^_^
BalasHapus