TENTANG FAI, TENTANG LAUT, Dan TENTANG AYUNDA



“Terkadang cinta itu hadir bukan tuk dimiliki…

Tapi dititipkan dalam hati tuk dijaga…”

- = Wawan Hendriadi = -


Ssrraaaasszzzhhh…!!
“Kamu gapapa?” suara kecil Ayunda menyentakku dari lamunan semu. Aku pandangi dia kemudian, agak lama.
“Ya, aku gapapa kok…” aku sahut pertanyaannya dengan senyuman. Melihat senyumku wajah cemas Ayunda berubah sumringah.
Telapak tangannya ia tangkupkan pada pundakku. Mengusap-usap lembut coba tuk menenangkan. Aku merasakan kehangatan mengalir dari tangannya, yang mampu menembus hoodie dan kaos yang kukenakan. Hingga menyentuh dan meresap ke dalam kulitku “Kamu kan cowok, kamu pasti kuat… jangan khawatir…” katanya. Aku mengangguk pelan membalas kata-katanya.


Angin sore bertiup pelan, ombak berkejar-kejaran menggapai tepian pesisir, langit biru keunguan menemani cuaca yang cerah. Aku dan Fai duduk dikursi kayu di tepi pantai menikmati keindahan laut.
“Kenapa kamu percaya padaku…?” aku bertanya menatap wajah oval Fai.
Dia tampak terkejut dan tersipu mendengar pertanyaanku.
“Kita kan baru 2 minggu kenalan…?” aku melanjutkan, terus menatapnya. Dia tak berani menatapku kembali.
“Sunsetnya baguus…” Fai malah menunjuk ke arah matahari tenggelam.
Aku hanya bisa menghela nafas… “Kenapa lagi-lagi mengalihkan topik…? Aku serius lo…”
Fai bangkit dari tempat duduknya kemudian berlari girang diatas pasir putih. “Kalo mau dengar jawabannya… kejar aku dulu…” dia berteriak dan terus berlari. Aku tersenyum, lekas aku bangkit dan langsung mengejar dia…
Ssrraaaasszzzhhh…!!
“Alta…”
“Altaa…” Ayunda menggoyang lenganku. Kembali aku tersadar.
“Eh… ya…” aku meliriknya.
Ayunda menghela nafasnya memandangku, kemudian ia tersenyum simpul. Kami sedang berada di sebuah gerai aksesoris. “Bagaimana menurutmu yang ini…?” tangannya menunjukkan 2 buah gelang manik-manik bewarna hijau tua yang berkilau memantulkan cahaya lampu mall.
“Kamu suka…?” tanyaku.
“Malah balik nanya… aku kan tanya pendapat kamu… aku ga bisa mutusin sendiri…?” wajahnya berubah cemberut.
“Eh… ehehe… mmm… hijau ya? Kayaknya unik sih… tapi gimana ya? Kurang cocok lah… aku ga tau sih dimana kurang cocoknya… hanya, kurasa kurang cocok aja…” kujawab.
Ayunda mengangkat alisnya mendengarku… “Jawaban yang aneh…” dia berujar. “Ya udah… kita cari tempat lain aja…” setelah menaruh kembali gelang manik-manik tersebut, Ayunda tersenyum pada petugas gerai aksesoris itu dan menarikku beranjak dari sana.

“Aku percaya padamu karena kamu baik, kamu sopan dan sinar wajahmu sepertinya menggambarkan bahwa kamu orang yang dapat kupercaya…” ungkap Fai ketika kami berjalan beriringan menyusuri pantai. Aku hanya mengangguk-angguk dengan perasaan senang. Deburan ombak terdengar bertalu-talu seperti deburan di hatiku. Langit tampak makin gelap, bias keunguan horizon makin terlihat pekat. Angin sepoi-sepoi meniup tubuh kami. Rambut panjang Fai terangkat-angkat ke belakang dibuatnya.
“Kamu gimana…? Apa kamu sayang padaku…?” kali ini Fai yang menatapku. Aku pun menatapnya.
Ssrraaaasszzzhhh…!!
“Alta…” suara halus Ayunda menyeruak lagi, membuyarkan semua kenangan-kenangan masa lalu itu.
“Eh…” kembali aku ke dunia nyata. Kulihat wajah cemas Ayunda dihadapanku. Ternyata kami sedang berada di sebuah kafe. Mataku mengitari sekeliling. Suasana di kafe yang luas itu cukup lengang. Banyak meja dengan kursi melompong. Cahaya matahari membias terpantul diatas meja-meja beralaskan kaca. Kuatur posisi duduk. Lalu kutatap Ayunda. Pandangannya masih menyiratkan kecemasan. Namun ketika dia menangkap bayangan dirinya ada di dalam mataku ia tersenyum. Aku menggigit bibir, menyesal kembali terperosok memori yang telah kulalui bersama Fai, hingga membuat Ayunda cemas lagi. Pasti Ayunda terluka melihatku begini disaat aku bersamanya.
Tiba-tiba Ayunda bangkit dari kursi dan meletakkan tas jinjing kecilnya di atas meja, ia berjalan meninggalkan meja kami. Tak lama kemudian ia kembali dengan 2 teh botol di tangannya. Ia menyodorkan sebuah kepadaku.
“Sepertinya kamu lelah…?” katanya pendek.
Aku meraih teh botol dari tangannya… Ayunda tersenyum, setelah itu ia duduk dan menyeruput sedotan teh botol miliknya. Aku hanya bisa memperhatikan sosok perhatian tersebut, lalu tertunduk.

“Tentu saja aku menyayangimu…” kujawab tegas pertanyaan Fai.
“Buktikan…” kata Fai.
“Baiklah…?” kataku.
“Buka bajumu dan berenanglah di laut, setelah itu teriakkan ‘aku sayang Fai’ sekeras-kerasnya…” dia menyuruhku.
Aku terdiam sejenak, ragu.
“Begitu…?” kutatap dia.
Fai mengangguk menantang.
“Okee…” aku menjawab dan terbayang akan basah-basahan. Tapi biarlah, demi membuktikan dan meyakinkan Fai. Kurasa berenang dan berteriak bukanlah hal sulit. Aku bersiap membuka bajuku dengan keyakinan.
“Tunggu…”
Suara Fai menghentikan gerakan membuka bajuku.
“Tidak usah…” wajahnya berubah khawatir.
“Aku percaya kok… tadi aku hanya bercanda…” ucapnya kali ini dan tersenyum.
Ssrraaaasszzzhhh…!!
Aku disentak oleh kesadaranku sendiri. Kuangkat kepalaku, Ayunda masih duduk dihadapanku, masih di kafe lengang itu. Dia sedang menyeruput teh botol menunggu pesanan datang serta menunggu aku ‘kembali’ dari lamunanku.
“Ayunda…” kupanggil namanya.
Wajahnya menoleh, heran. Mulutnya masih menggigit sedotan teh botol. Mataku beradu dengan mata bulat gadis manis berjilbab itu. Ingin sekali aku bertanya padanya ‘Apa aku baik bagimu…?’ ‘Apa kamu tak bosan bersama denganku? Laki-laki yang selalu terkungkung kenangan masa lalunya. Apa kamu tak bosan…?’. Tapi, mata berkilat bening miliknya membuatku jadi tak berani menanyakan pertanyaan-pertanyaan itu. Kuraih tangannya, menggenggamnya erat. Reaksi Ayunda agak terkejut. Mendapati tangan kami bertautan.
“Lihat ke belakangmu…” aku berujar padanya.
Ayunda menurut, ia mendongak ke belakang. Melihat sepasang insan yang duduk berhadapan. Mereka juga sedang berpegangan tangan dan tampak berbincang dengan mesra. Tak lama Ayunda membalikkan tubuhnya, menghadap padaku.
“Aku hanya merasa… kedua orang dibelakang kita memiliki hubungan yang kuat…” aku berkata.
“Sepertinya mereka nyaman… Ya, nyaman… begitu juga denganku, aku juga ingin kamu nyaman berada disisiku…” aku menjelaskan tersenyum… “Jangan terlalu mencemaskanku… khawatirkan juga dirimu…” aku meneruskan.
Hanya itu yang dapat kulakukan saat itu, berharap penjelasanku akan membuat hatinya tenang. Mendengar ucapanku, mata beningnya makin mengilat, berbinar-binar… dia nampak terharu…
“Jangan terlalu dipikirkan… aku tidak merasa aku mengorbankan perasaanku kok… aku hanya melakukan apa yang ingin aku lakukan… aku tetap bahagia seperti ini… yang penting, aku selalu bisa berada disisimu…” ungkap Ayunda. Terpulas senyum diwajah manisnya.
Itulah, Ayunda begitu baik padaku. Ia hampir selalu ada jika aku butuhkan. Selalu coba menghiburku dikala aku sepi dan sedih. Aku juga tak tau harus bagaimana membalas semua budi baiknya padaku.

 “Kamu tau… aku sangat suka laut… aku suka membuat puisi tentang laut dan aku merasa aku adalah laut…” suara Fai mengalun di telingaku. “Kamu suka laut…?” ia bertanya.
“Suka, tapi mungkin tidak sebesar rasa suka yang kamu punya…” kujawab. “Aku lebih suka suasana matahari tenggelam…”
“Hmmm… begitu ya…” Fai mengangguk-angguk. “Sunset mang sangat menakjubkan, aku pun suka. Laut juga inspirasiku… dengan melihat laut yang luas ini serasa semua beban pikiranku jadi hilang dihanyutkan ombak. Dan, ide-ide menulis akan hadir di otakku…” dia menerangkan.
TIIDDIIN…!! Klakson bus mengejutkanku. Pagi itu aku sedang berdiri di halte. Halte tempat dimana aku biasa menunggu bus. Bus yang mengantarku menuju kampus. Pintu bus yang berhenti itu terbuka otomatis, cepat kunaiki mesin pengangkut manusia tersebut. Di dalamnya banyak bangku kosong. Aku memilih duduk di bagian belakang. Kusandarkan kepalaku ke kaca jendela. Menerawangkan pandanganku. Namun, aku hanya menggeleng-geleng diatas tempat duduk. Aku terus berpikir, kenapa aku masih dihantui kenangan-kenangan dengan Fai? Kenapa aku masih belum mampu melepas sosok dirinya? Ini sudah 2 tahun… Padahal kami hanya bersama selama 1 tahun, lalu ia pergi tiba-tiba dengan… ah, hatiku mendadak bergemuruh. Menyesal, hanya itu yang selalu bisa kulakukan.

Kami berjalan menuju sebuah tanggul pemecah ombak, di pantai yang biasa kami kunjungi. Fai sebelumnya pernah ingin mengajakku kemari, waktu itu kutolak permintaannya karena aku merasa tanggul itu belum selesai dibangun. Namun ternyata tanggul ini sudah selesai dikerjakan, ditambah, tanggul ini cukup besar dan luas juga kupikir.
“Waaah… hebaat!” Fai membentangkan tangannya ketika kami berada di tengah tanggul. Tubuhnya diterpa hembusan angin pantai yang cukup kencang, membuat rambut panjangnya terombang-ambing di udara. Setelah puas merasakan hembusan angin, Fai dengan semangat berlari ke arah pembatas di tepian tanggul…
Aku terperanjat melihat tingkahnya. “FAii! Jangan kesana…!” pekikku.
Tapi terlambat, sebuah ombak besar menghempas bebatuan dan blok-blok beton di bawah pembatas tanggul, ombak besar itu hancur menjadi kepingan-kepingan air dan terlempar ke udara kemudian terjun ke bumi membasahi Fai yang berdiri dibawahnya. Ssrraaaasszzzhhh…!!
Akibatnya Fai basah kuyup diguyur kepingan-kepingan air tersebut. Mulutnya ternganga terkejut, tangannya terangkat sebahu, tak menyangka hal itu akan terjadi.
“HHmmpphh… hahahahahahaaa…!!” tawaku pecah melihat ekspresi lucu Fai, sampai-sampai aku terbungkuk-bungkuk dibuatnya. Mendapati aku yang menertawainya, wajah Fai berubah cemberut sambil berkacak pingang.
Trurururuuu…! Zzzzztttt… zzzzzttt… Trurururuu…! Zzzzztttt… zzzzzttt…
Aku terbangun ketika ponselku berbunyi dan bergetar keras di atas meja kamar kos-an ku. Aku tegakkan punggungku dari tempat tidur. Tanganku meraih ponsel dan mendekatkan ke wajah. Mataku sedikit menyipit membaca tulisan Ayunda Calling, pada layar ponsel yang berkedap-kedip. Ku pencet tombol Answer lalu menempelkan benda mungil persegi panjang itu ke telinga.
“HallooOoo…!” suara Ayunda terdengar bersemangat di seberang sana.
“Hallo…” ku jawab lemah sambil mengucek mata.
“Sedang apaa? Pasti baru bangun ya?” selidik Ayunda.
“Kedengeran ya?” kataku, kemudian aku menguap… “Hhhooooaaahhmmm…”
“Hihihihi…! Iya, terdengar suara gorilla lagi nguap… ayooo bangun! Udah soree…!” suara Ayunda makin riang.
Aku hanya tersenyum mendengarnya. Kuangkat tubuhku dari tempat tidur dan berjalan menuju jendela. “Iya, aku bangun nih…” sahutku. Setelah itu kubuka gorden jendela, aku berkerinyit ketika sinar matahari sore menghujam mata yang masih mengantuk ini.
“Udah jam lima lo… cepet cuci muka, terus mandi… dandan, pake baju bagus, pake parfum wangi, sikat rambutmu… lalu ku tunggu di kontrakanku… abis maghrib jam 7 malam, ON TIME… ga boleh telat…!” dia terus bercericau dengan semangat.
Senyumku makin lebar dan kepala terangguk-angguk. “Iyaa… iyaaa…” ku jawab. Sedetik kemudian aku menghela nafas.
“Kamu ga papa kan?” nada suara Ayunda berubah, sepertinya ia khawatir setelah mendengarku menghela nafas.
“Oh… gapapa kok…” aku menggeleng cepat.
“Mimpiin ‘dia’ lagi…?”
Sejenak aku terdiam mendengar pertanyaan itu.
“Iya…?” tanya Ayunda penasaran.
“Mmmmm… hehe…” aku hanya tertawa kecil menjawab.
“Jangan khawatir… datanglah ke kontrakanku ya… aku tunggu…”
“Ya…”
“Baiklah… sampai jumpa nanti…”
trek-... tuut… tuutt…


“Sangat sulit… ya, sangat sulit sekali…

Mencoba melepaskan sesuatu yang tak bisa kau dapatkan kembali…”


“Aahhh… aku benar-benar menyukai laauuut…!” Fai berseru sambil merasakan hembusan angin pantai. Lantas kedua tangannya terangkat ke udara. Terlukis kegembiraan diwajah ovalnya, sepertinya ia menikmati momen itu. Kami berdiri berdampingan diatas pasir putih dengan kaki telanjang. Aku menoleh memandangi wajahnya.
“Mungkin… rasa sukamu terhadap laut sebesar rasa sukaku terhadap kamu…” aku berkata.
Fai menoleh padaku, dia menurunkan tangannya… kemudian dia tersenyum penuh arti lalu kembali matanya menyapu laut, sementara pandanganku belum juga beranjak dari wajah gembiranya. Merasa terus diperhatikan, Fai memalingkan wajahnya padaku lagi. Ia tersenyum heran… “Hmmmphh… kenapa pandanganmu seperti itu padaku…?” suara halusnya bertanya…
“Fai, aku mencintaimu…” aku berbisik.
Sesuatu yang dingin menyentrum kulit lenganku… aku sedikit terperanjat.
“Hihiihi… dingin ya…?” Ayunda tertawa, dia menempelkan sebuah apel dingin ke lenganku. Mungkin apel itu baru keluar dari kulkas mininya. Aku dan Ayunda sedang duduk berdua di depan teras rumah kontrakannya malam itu. Dua kursi rotan yang kami duduki berhadapan agak menyerong, menghadap ke jalan. Diantara kursi terdapat sebuah meja kayu kecil berbentuk bundar. Di tengah meja tergeletak sebuah piring putih kecil dengan tiga buah apel segar berwarna merah tua bertengger diatasnya. Ayunda tampak tersenyum menangkap raut kaget di mukaku, puas dengan perbuatan isengnya yang tepat mengenai sasaran. Lalu ia mengupas apel yang ia genggam dengan hati-hati. Jari-jari mungilnya menari lincah bersama pisau membuka kulit apel. Kuterawangi lagi pandanganku, mengamati suasana kontrakan Ayunda yang cukup sepi kala itu. Teman-teman satu kontrakan Ayunda banyak yang pulang pada akhir pekan ini. Ngguuueeeennggg…!! Terdengar raungan keras knalpot motor melintasi jalan, mencuri perhatianku untuk menengok kesana.
“Nih… buka mulutmu…” Ayunda menyodorkan sepotong apel ke dekat mulutku.
Aku menoleh pada potongan apel di tangan Ayunda, lalu menatap wajahnya. Ayunda mengangguk meyakinkanku. Ku condongkan kepala kedepan dan membuka bibir bersiap menggigit, namun tangan Ayunda cepat menyorongkan apel itu ke mulutnya. Aku hanya terdiam dan masih menganga, melihat potongan apel tersebut tidak jadi masuk ke mulutku. Ayunda tertawa senang, berhasil membuatku tampak seperti domba lapar. Ku hela nafas dan memperlihatkan wajah kesal yang dibuat-buat. Ayunda makin girang mendapatkan ekspresi lucu itu, bahkan kakinya menghentak-hentak saking senangnya. Dua kali aksi jahilnya padaku berjalan sukses.

Ssrraaaasszzzhhh…!! Deburan ombak melengking di telingaku. Aku bersama dengan ‘Fai’lana Hamta. F mengunjungi pantai itu lagi.
“Aku mau berenaaangg…!” Fai berteriak dan berlari meninggalkanku mengejar ombak.
Aku kembali kaget dengan tingkah eksplosifnya yang sering muncul tiba-tiba jika sudah melihat pantai dan air laut. Tapi aku hanya bisa melihat dan tersenyum. Tanpa melepas pakaiannya, Fai melompat ke dalam air bewarna biru muda. Tubuhnya lenyap ditelan air laut. Cukup lama ia di bawah sana dan tak kunjung kembali ke permukaan, aku mulai cemas menunggu. Kususul dia, saat hendak melompat ke dalam air kepala Fai muncul ke permukaan…
“Baaa…!! Hahahaha… pasti cemas ya…” ia tertawa puas melihat wajah panikku.
Aku jadi salah tingkah… “Si-…siapa yang panik…? Aku hanya ingin ikut merasakan air laut kok…”
“Ah, ngaku aja lah…” Fai melemparkan percikan air padaku.
“Hei… jangan mulai ya…” aku mulai gemas dan mengejarnya ke dalam air. Dia berteriak kegirangan ketika aku berenang mengejarnya.
Setelah puas dengan kejar-kejaran, kami mengapungkan diri di permukaan air memandangi langit sore yang membentang luas. Terlihat hamparan awan-awan menghiasi langit yang cerah itu.
“Indah ya…” ucap Fai lembut.
Aku hanya membalas ucapannya dengan tersenyum. Fai memegang tanganku. Kami berpegangan tangan sambil mengapung, sambil menatapi langit sore, sambil menikmati suasana berdua. Meski kadang-kadang tubuh kami sedikit terombang-ambing di terpa riak air laut, tak merusak suasana dramatis tersebut.
“Heeiii… nak! Heeiii…!!!” terdengar seseorang berteriak di tepi pantai.
Kutegakkan tubuhku di dalam air. Kepalaku mendongak ke arah suara berasal. Kulihat dari kejauhan seorang bapak-bapak berbaju lusuh dengan celana hitam selutut dan memakai topi caping memanggil-manggil kami. Sepertinya dia seorang nelayan.
“Sudah terlalu sore…!! Hari juga mulai gelap… keluarlah dari laut…!!” teriakannya makin keras.
Aku tersenyum mendengar petuahnya. “Ya pak…! Sebentar lagi kami keluar… terimakasih.” aku mengacungkan jempolku padanya. Dia membalas tersenyum, setelah itu pergi berlalu. Aku pandangi Fai yang masih mengapung memandangi langit…
“Aku ingin kesana…” katanya menunjuk langit.
Aku mengikuti telunjuknya, melihat langit yang menakjubkan itu… lalu…
Ssrraaaasszzzhhh…!!
Tiba-tiba tanpa disangka gelombang besar datang menghantam. Tubuhku bergulung-gulung tak terkendali. Hantaman keras tersebut cukup membuatku pusing sesaat. Kurasakan air bercampur pasir menyesak paksa masuk ke dalam rongga telinga, mulut dan hidungku. Situasi berubah jadi rumit saat itu, aku berusaha kembali ke permukaan. Setelah sampai dipermukaan, kudapati alam berubah. Mulai mengamuk. Gelombang laut tiba-tiba saja menjadi ganas dan angin berembus kencang. Badai!?
Diantara kerumitan itu aku sempat melihat Fai megap-megap melawan gelombang. “Toloonng…!! Tolooong…!!” ia memekik. Aku berusaha menggapai tangannya, namun kekuatanku tak mampu mengalahkan amukan gelombang.
Ssrraaaasszzzhhh…!!
Sekali lagi terjangan gelombang menghantamku. Tubuhku berputar-putar hebat di bawa gelombang, kemudian semua berubah menjadi gelap, aku pingsan.
Beruntung aku lebih dulu dihanyutkan ombak ke tepi pantai, sehingga orang-orang cepat menyelamatkanku. Sementara jasad Fai tidak pernah ditemukan sejak saat itu. Aku tak sanggup menerima kenyataan dan menyesali semua yang terjadi. Laut merenggut Fai dengan cara seperti itu dariku.
“Aawww…!!” pekik Ayunda menarikku kembali ke dunia nyata.
Ayunda terlihat kesakitan memegang tangan. Kulihat jempolnya mengeluarkan darah segar, mungkin tersayat pisau. Cepat kuraih tangan halus itu. Kumasukkan jempol itu ke dalam mulut dan kuhisap darahnya, kemudian kuludahkan. Ayunda hanya bisa meringis, giginya bertautan melihat apa yang kulakukan. Sesudah tiga kali menghisap dan meludahkan darah, akhirnya pendarahan di jempol Ayunda mulai berkurang. Cepat kusuruh dia mengambil kotak P3K miliknya. Dengan sigap ia berlari ke dalam rumah. Ia kembali tergopoh-gopoh dengan kotak P3K ditangannya. Kubuka kotak itu mengambil obat luka tetes. Dengan hati-hati kuteteskan obat luka itu ke jempol Ayunda…
“Aku ngerti kok…” Ayunda bersuara ditengah kesibukanku. Bola mataku bergerak menatapnya sejenak, kemudian aku sibuk lagi mengurusi jempolnya.
“Aku ngerti kok sekarang… kamu masih belum bisa melepasnya… melepas sesuatu yang takkan pernah bisa kamu miliki kembali…” Ayunda bersuara lagi.
“Maafkan aku yang egois ini…” ia berkata lirih… “Pasti sakit ya…? Memiliki sesuatu yang tidak kamu butuhkan sementara kamu membutuhkan sesuatu yang tidak kamu miliki… kamu selama ini terus berjuang melawan semua itu kan…?” Ayunda terus berujar, walau aku hanya menjawab dengan diam.
Setelah selesai melingkari jempolnya dengan perban dan memasang plaster, kutaruh tangan yang baru saja terluka itu diatas lututnya. Kutegakkan posisi punggungku dan kupandangi wajahnya.
“Aku menyayangimu…” terdengar kegetiran dari suaranya yang parau dan ia tertunduk.
“Walau kamu ga pernah mengatakan bahwa kamu juga menyayangiku atau tidak… aku tidak peduli… aku hanya melakukan apa yang ingin aku lakukan… aku ingin membuat kamu kuat… lebih kuat… karena aku menyayangimu… aku ingin selalu disampingmu… aku ingin membuatmu bahagia… aku ingin-… hiiks…” Ayunda mulai terisak. Aku hanya terpana iba melihat Ayunda. Aku sadar ia berusaha menggantikan posisi Fai dihatiku, meski sejauh ini ia sadar ia belum bisa menggeser Fai.
Peristiwa satu tahun yang lalu berputar di benakku.

Ssrraaaasszzzhhh…!! Deburan ombak melengking lagi di telinga. Aku sedang duduk memandangi laut sore tempat aku dan Fai biasa kunjungi bersama. Namun, kali ini Fai tak disisiku. Aku disini hanya untuk terus mengingatnya. Setiap sore, sendirian. Failana Hamta. F, dia tenggelam di pantai ini tepat 3 tahun yang lalu.
“Toloonng…!! Tolooong…!!” aku terkesiap mendengar suara teriakan. Tidak jauh dari tempatku duduk terlihat beberapa gadis berlarian keluar dari laut dengan panik, mereka menunjuk-nunjuk cemas ke laut. Disana tampak seorang gadis lain tengah berjuang mempertahankan dirinya diantara hantaman ombak agar tidak tenggelam. Sepertinya dia merupakan teman gerombolan gadis yang berteriak panik itu.
Melihat kejadian itu, peristiwa tenggelamnya Fai seolah terulang di kepalaku. Secara reflek aku berdiri dan berlari ke tepi pantai, aku tak ingin lagi melihat orang tenggelam di depan mataku. Cepat aku melompat kedalam air dan berenang mengejar waktu, sebelum gadis itu benar-benar tenggelam. Kurasakan gelombang laut tidak sebesar dan sekuat waktu Fai tenggelam. Kukayuh kaki dan tangan makin cepat. Ketika berada sudah dekat dengan gadis itu aku berusaha meraih tangannya dan berhasil! Awalnya kukira penyelamatan ini akan berjalan mudah, tapi ternyata cukup sulit menolong orang yang sedang tenggelam. Gadis itu terus meronta-ronta memelukku, sehingga menyeretku ke dalam air.
“Tolong jangan bergerak…! Atau kita berdua akan tenggelam…!” aku bersorak padanya. Tapi sepertinya ia tak mendengar. Ia terus saja meronta. Aku menyelam kedalam air hendak berusaha mendorong tubuh gadis itu dari sana. Tetapi tangannya yang bergerak liar itu malah menekan kepalaku sehingga aku susah payah mengendalikan tubuh. Aku kembali ke permukaan untuk mengambil nafas. Peristiwa tenggelamnya Fai kembali berputar di benakku. Namun aku tidak menyerah, malah sebaliknya semakin menguatkan niatku untuk menolong gadis ini.
Setelah melalui waktu yang cukup lama berjuang di dalam air, perlahan-lahan gadis itu tak bergerak lagi. Mungkin ia pingsan. Tubuhnya mulai tenggelam. Aku menjadi panik, akan tetapi hal ini memudahkanku mengangkut tubuhnya ke tepi pantai. Sesampai di tepi pantai aku kehabisan tenaga menyeret tubuh gadis itu. Untung orang-orang disekitar pantai berdatangan menolong kami. Aku lega melihat orang-orang sudah berkerumun disekitarku, tapi mendadak dadaku serasa sesak dan aku terbatuk-batuk. Keluar air dari mulut dan hidungku, sesudah itu semua gelap.
Kubuka mata pelan-pelan. Pandanganku samar-samar, tapi lama-kelamaan jernih kembali. Kudapati diriku berada diatas tempat tidur putih dan diruangan serba putih. Disamping tempat tidurku seorang gadis duduk dikursi, ia menggenggam telapak tanganku. Wajahnya tampak cemas. Beberapa orang gadis lainnya berdiri di belakang gadis yang duduk itu. Rambut mereka masih basah, oh mereka gadis-gadis di pantai tadi, aku berpikir. Wajah cemas mereka berubah lega melihatku sadar. Sepertinya aku barusan pingsan. Aku berusaha bangun, dengan lembut gadis-gadis itu membantuku.
“Dimana ini…?” tanyaku.
“Di rumah sakit… kamu tadi pingsan, banyak air masuk ke dalam paru-parumu, tapi telah dikeluarkan oleh petugas rumah sakit..” jawab gadis yang duduk itu.
“Aku Ayunda…” ia berkata lagi. Tanganku belum dilepasnya. ”Terima kasih, kamu telah menyelamatkanku…” kali ini ia tersenyum. Aku hanya bisa diam menerima senyuman tulus itu. Dari situlah aku mengenal Ayunda, Ayunda Septiani, dan Ia berkata tindakanku menolongnya di laut sangat berkesan dalam baginya. Sejak saat itu ia terus mengejarku. Ia ingin turut serta bersamaku, menemani diri ini melewati hari-hari tanpa Fai. Berkali-kali aku menolaknya, karena tau dia nanti akan menderita berada disampingku. Namun, ia mengaku ia menyayangiku dan akan melakukan apa saja untuk tetap bersamaku serta menyatakan ingin selalu disisiku.. Akibat kegigihannya, aku menerimanya juga.
Ssrraaaasszzzhhh…!!
Kembali aku tersadar.
“Hiks… maafkan aku… aku egois ya…” Ayunda tersedu dalam tunduknya. Tangannya meremas baju tidur yang ia kenakan. “Aku terlalu menuruti perasaanku… yang terlalu berharap kamu akan berubah jika aku selalu disampingmu… aku berharap kamu akan lebih kuat bila berada di dekatku… namun ini sudah 1 tahun lebih… dan keadaan tetap sama seperti dulu… maafkan aku… hiikzz… aku salah… aku hanyalah gadis dengan pikiran sederhana… maafkan aku karena mencintaimu tanpa pernah mengetahui perasaanmu sebenarnya… hikz… pasti kamu kesulitan menghadapi aku yang seperti ini ya…?” air matanya mengalir…
Termagu aku mendengar kata-katanya. Meski tidak semua kata-kata yang ia tujukan padaku adalah benar.
“Ayunda…” suaraku bergetar. “Tidak semua yang kamu ungkapkan itu sepenuhnya benar.”
Ayunda mengangkat wajahnya memandangiku sejenak, kemudian ia tertunduk lagi.
Aku melanjutkan…
“Aku senang kok kamu disisiku… saat kamu selalu tersenyum padaku padahal hatimu sedih, saat kamu selalu perhatian padaku padahal aku kurang perhatian, saat kamu tegar menghadapi semua sikap dinginku, ketika kamu tertawa denganku walaupun perasaanmu sakit, saat kamu masih tulus walaupun kadang aku dustai, atau saat kamu selalu bangkit walau kadang tak sengaja kusakiti, dan saat kamu berkata seperti barusan, aku baru menyadari… bahwa kamu adalah seorang gadis yang sangat penyabar… aku senang dengan kebesaran hatimu… kupikir sulit mencari gadis seperti itu…” kalimat-kalimatku mengalir seperti air matanya..
Tanganku menyentuh dagu Ayunda dan mengangkat wajah berlinang itu. Kuteguhkan hatiku dan berkata…
“Ayunda… dengar aku baik-baik ya… mulai sekarang aku janji… walaupun aku tak memiliki kepercayaan diri kayak janjiku itu saat ini… ya saat ini… tapi… aku akan berusaha menjadi seorang laki-laki yang akan menyayangimu kelak dan membuat mu berarti disisiku… sekuat yang aku bisa… aku akan berusaha… aku janji…” aku tersenyum setelah mengatakan janji itu padanya.
Wajah Ayunda makin banjir, ia menutupi mukanya denga kedua tangan. “Terimakasih… huhuuu…” ia berkata.
Kucondongkan wajahku agar dekat dengan wajahnya. “Harusnya aku yang berkata seperti itu…” aku membalas kata-katanya, dan tiba-tiba ia merangkulku. Tangisnya makin menjadi “Aku menyayangimu… aku takut kehilangan kamu…” katanya lagi, kepalanya tenggelam dipundakku. Aku hanya tersenyum membalas, sambil memicingkan mata aku kembali merasakan kehangatan cinta Ayunda. Ya, sangat hangat dan tulus. Rugi rasanya aku menolak cintanya.
Dulu, setelah Fai pergi selamanya dan sebelum aku bertemu Ayunda. Aku sering memimpikan Fai. Pernah aku bermimpi, aku dan Fai bermain di laut. Kemudian Fai menunjuk arah laut, disana tampak seorang gadis tenggelam. Lalu aku pandangi lagi Fai, tapi Fai menghilang. Awalnya aku tak mempedulikan keberadaan Fai yang hilang, aku langsung mengejar gadis yang tenggelam itu dan menyelamatkannya. Tapi aku tak ingat persis wajah gadis yang kuselamatkan di mimpi itu. Mungkin, mungkin gadis itu adalah Ayunda, dan Fai telah menunjuknya sebagai pengganti dirinya. Walau hatiku saat itu masih belum bisa sepenuhnya melepas Fai. Namun sekarang, aku harus merelakan Fai. Kurasa ia juga tak ingin melihatku menderita dengan terus merindukannya. Ya, sekarang ada Ayunda disisiku. Pasti Fai juga bahagia melihatku bersamanya. Seperti kata seorang sahabat “Kadang cinta hadir bukan tuk dimiliki… tapi dititipkan untuk dijaga dalam hati…”, ya, cinta Fai akan selalu kujaga walau takkan pernah kumiliki kembali.
KOMPRAAANG!!! PRAANG PYAAANG…!!!
Aku dan Ayunda terperanjat mendengar suara benda jatuh. Ternyata ibu tetangga sebelah kontrakan Ayunda melihat kami berpelukan dari seberang pagar. Ia terkejut sehingga tanpa sadar menjatuhkan talam yang dipegangnya ke lantai. Menyadari hal itu, kami reflek melepaskan pelukan. Kami jadi salah tingkah. Begitu juga ibu tetangga Ayunda itu. Setelah memungut talamnya yang terjatuh, ia buru-buru berlalu dengan wajah bersalah. Si ibu hilang dibalik tembok pembatas rumah. Setelah si ibu tak tampak lagi kami cekikikan berdua. Entah kenapa, kali ini, ketika melihat wajah Ayunda yang cekikikan itu aku merasa wajah Ayunda makin manis saja dan hatiku berdebar. Mungkin efek dari janjiku sudah mulai bereaksi…

End…
Tackey
Surau Ujuang – October 2012

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Batagak Tunggak Tuo

Prompt #71: Her

Prompt #71: This Journey With You