LOST
Tok, tok, tok . . . .
Tok, tok, tok . . . . Tok, tok, tok . . . .
Pagi
buta mataku terbuka karena
pintu
apartemen digedor berulangkali.
Tok, tok, tok . . . !
Tok, tok, tok . . . ! Tok, tok, tok . . . !
Makin
lama makin kencang.
“Farri!”
Tok, tok, tok . . . !
“Farri!”
Tok, tok, tok . . . !
Diikuti
teriakan perempuan berumur
sekitar pertengahan 30-an dari balik pintu
memanggil namaku.
“Farri,
aku tau kamu di dalam!”
Kepalaku
makin kupendam kedalam selimut. Ah, nenek lampir lagi, gerutuku dalam hati.
Tempat tidur terasa makin nyaman untuk mendekam.
“Farri!”
Tok, tok, tok . . . !
“Farri,
deadline kita Farri! Deadline! Ini baru 78 lembar! Cuma
tersisa 2 bulan lagi!”
Tok, tok- . . . ,
trururu, trururu, trururu.
Suara
ketukan pintu terhenti diikuti dering ponsel.
“Oh
tidak.” suara si perempuan berubah mengeluh.
“Ya
pak . . . iya pak, saya lagi di apartemen penulis pak Farri, pak . . .“
Terdengar
suara perempuan tadi sedang berbicara, mungkin dia berbicara dengan seseorang
melalui ponsel miliknya.
“Aha
. . . ya . . . ya . . . baiklah kalau begitu, saya akan kesana sekarang.”
Sesaat
suasana hening.
Tok, tok, tok . . . !
“Farri!
Aiiih!” Keputus asaan jelas terasa dari suara si perempuan.
Klak, klok, Klak, klok,
Klak, klok . . . bunyi pijakan sepatu highheel si perempuan menggema di lorong
apartemen. Menelesup masuk ruang apartemenku, terdengar makin menjauh kemudian
senyap.
Kusibak
selimut tebal yang menutup kepala. Kutajamkan telingaku, mencoba mencari-cari
suara sepatu highheel tadi, tetapi
benar-benar sunyi. Berarti si nenek lampir sudah pergi. Aku bangkit dari tempat
tidur, mengucek mataku malas, lalu berjalan menuju wastafel untuk mencuci muka.
Ah, segar sekali, gumamku dalam hati ketika air bening membasuh wajah lelah ini.
Dengan lembut kutarik handuk kecil di gantungan sebelah wastafel. Cermin bening
memantulkan diriku yang sedang menyeka wajah, rambutku tampak acak-acakan.
Ngiiiiiiiinngg!
Ugh!
Kepalaku kembali berdenging. Sudah enam bulan ini kepalaku sering berdenging. Kata dokter,
hal ini biasa, disebabkan aku kurang istirahat. Selesai menyeka wajah, aku
berjalan menuju meja kerjaku di
ruang
lainnya. Dengan tidak bersemangat aku duduk di kursi putar, lantas menyalakan
komputer. Sambil menunggu loading system
membuka windows, kembali kukucek mata.
Jam 4 pagi aku baru bisa tertidur. Lalu diganggu teriakan nenek lampir tadi Jam
8 pagi. Sekarang jam 8 lewat seperempat.
Oh
ya, perempuan yang kujuluki nenek lampir tersebut adalah editorku. Frida
Heliyanti namanya. Sudah 4 hari ini ia menerorku setiap pagi. Menagih janji
manisku untuk menyetor sambungan tulisan untuk proyek buku pertama kami. Ya,
aku seorang penulis, penulis cerita fiksi. Lumayanlah, usiaku baru 24 tahun dan
masih lajang, tetapi aku sudah terkenal di kalangan penulis karena
cerpen-cerpenku.
Komputer
sudah stand by, kuraih mouse
dan menjelajahi isi hardisk.
Aku buka folder ‘project’, memilih file
MS Word ‘naskah buku pertama’. Sedetik setelah itu terbentang kertas
maya di layar laptop, berisi huruf-huruf yang memuakkan pandanganku.
“Aiiissh!”
Tanganku mengaruk-garuk rambut dengan kasar, aku mual memandang tulisanku
sendiri. Inspirasiku benar-benar habis. Tidak tau harus menyambung cerita
kemana, menulis apa, memilih gaya bahasa yang bagaimana, tanda kutip, tanda
seru, dialog, konflik dan sebagainya. Aaahhh, benar-benar pusing. Ditambah
hampir setahun belakangan aku hanya bekerja di depan layar monitor, menumpahkan
segala ide-ide dan gagasan yang terkandung dalam kepala ini. Mebosankan sekali.
Kupilih
me-minimize program MS Word itu. Aku
melihat processor yang berada di
samping layar. Lampu merah kecil di sisi bawah processor berkedip-kedip,
pertanda ada e-mail masuk. Ada 5 e-mail baru. E-mail dari frida.heliyanti.2009@mail.com
berjumlah tiga, tidak kubuka, malas. Ada satu e-mail dari W.O.W Tour, dahiku berkerut? Kubuka e-mail W.O.W Tour tadi, dan seperti yang
kuduga, berisi tawaran promo paket
liburan ke daerah-daerah eksotis, pedesaan, pantai, sungai jernih, dan
lain-lainnya. Gambar-gambar menyejukkan mata terpampang jelas. Cih! Aku mendesah
kesal, tetapi tiba-tiba mendapat sebuah ide. Kenapa aku tidak pulang ke kota
kelahiranku!? Menikmati satu-dua minggu di sana, sambil
menyegarkan kembali isi otak sekaligus mencari inspirasi. Ah! Hebat sekali! Hatiku
bersorak, semangatku bangkit kembali.
Bagaimana dengan si nenek lampir? Masa bodoh!
Kukeluarkan
tas ransel dari tempat bersemedinya di dalam kotak besar di bawah tempat tidur. Aku
buka lemari dan memilih pakaian yang akan kubawa ‘liburan’ ini. Selesai packing, aku berlari ke kamar mandi
sambil berlonjak-lonjak senang, layaknya anak kecil yang akan dibawa ayahnya
pergi menonton sirkus. Selesai mandi dan berpakaian, aku berjingkat ke arah
pintu apartemen. Melalui lubang pengawas yang terpasang di pintu, aku mengintip
suasana di luar.
Siapa tau ternyata
nenek lampir tiba-tiba muncul, atau dia masih setia menungguku? Tetapi untunglah dia
tidak ada di sana
dan benar-benar sudah pergi. Kubuka pintu pelan-pelan kemudian menjulurkan
kepala memastikan keadaan sekitar lorong. Senyum lebar tersungging di wajahku, benar-benar
sepi. Sambil menggendong tas ransel kulangkahkan kaki, berangkat! Oh iya! Tentu
sebelumnya aku harus mengunci apartemen dulu.
Tanpa
terasa perjalanan hampir 4 jam dengan bus mengantarku ke sebuah kota kecil nan
asri, Kota Kabuk, kota kelahiranku. Udara sore yang sejuk langsung menyapa ketika aku menuruni bus. Setelah
itu kulangkahkan kaki menuju angkot yang sedang mangkal di tepi jalan.
Sesampai
di depan rumah, kuturuni angkot. Usai membayar, aku beringsut menuju rumah. Ibu
sudah berdiri di teras, beliau tampak tersenyum karena sudah kuberitahu perihal
kepulanganku.
“Kok
tiba-tiba aja pulangnya?” sapa Ibu lembut.
“Hehe,
lagi pusing, Bu,” kusahut. Aku melangkah mendekati tubuh tua yang masih bugar
itu.
“Tulisanmu
gimana?”
“Ah,
bisa diatur.” Kucium tangannya yang keriput.
Kami
memasuki rumah. Kuhempaskan tubuh di kursi sofa ruang tamu. Sungguh melelahkan
perjalanan kali ini, batinku. Padahal tiga bulan lalu aku juga pulang, tetapi
tidak seletih ini rasa-rasanya.
“Kamu
ga ingin menengok Delia, Farri?” tanya ibu sambil berjalan kearah dapur.
Ngiiiiiiiinngg!
Kepalaku
berdenging lagi, membuatku sedikit meringis. Delia, nama itu berputar-putar di
benakku.
“Kamu
ga ingin menengok Delia? Hm?” Ibu mengulangi pertanyaannya, sambil berhenti di
depan pintu dapur.
“Eh,
ummm . . . besok pagi aku kesana,” jawabku sembari memegang kening.
“Oh,
ya sudah . . . nanti sampaikan salam Ibu sama dia ya.”
“Ya.”
Aku mengangguk.
Ibu
menghilang dibalik tirai pintu dapur. Sementara aku terus memikirkan Delia.
Delia
oh Delia, aku tersenyum kecut.
***
Besok
paginya, kaki ini membawa tubuhku ke sebuah rumah bergaya minimalis modern. Mendadak kegugupan mengapung di
pikiranku saat berdiri
di depan pintu. Dengan segenap keberanian, kuketuk pintu yang terbuat dari kayu licin
itu. Seseorang membuka pintu. Seorang wanita, wanita cantik, sangat cantik
menurutku. Delia, ya, dialah Delia.
Wajahnya
cukup terkejut, mulutnya sedikit ternganga, lama ia menatapku.
“Hai,”
kusapa dia lembut.
“Hai
. . . ,” jawabnya, “kapan-.”
“Kemarin
sore aku tiba,” kusela cepat.
“Oh
. . .” Dia
mengangguk pelan, “eh, masuk.”
Kumasuki
rumah Delia.
“Duduk,”
katanya ramah.
Akupun
duduk di sofa hitam. Mataku sedikit menerawang ruang tamu.
“Udah
tiga bulan,
ya?” ujar Delia.
Mataku
tertumbuk lagi pada wajah cantik itu.
“Hehe,
ya . . . terakhir aku pulang dan berkunjung kesini,” aku menyahut, “apa
kabarmu?”
“Baik
. . . .” Delia mengalihkan matanya dari tatapanku. Ia tersenyum, tetapi
sepertinya terpaksa. Pandangannya kosong.
“Suamimu?”
tanyaku lagi.
Bola
mata Delia bergerak kearahku cepat. Membuat rambut indahnya bergoyang ketika
dia memutar kepalanya.
“Dia
. . . dia belum kembali.”
“Bagaimana
usaha pencariannya?”
Delia
menggeleng, “nihil.”
Aku
hanya bisa mengangguk sebagai bentuk keprihatinan. Kupandangi wajah manisnya
yang muram. Delia, Delia Riani Novita nama panjangnya. Dia, dia dulu kekasihku.
Tidak 2 tahun belakangan. Dia dijodohkan dengan seorang laki-laki mapan pilihan
orang tuanya. Mendapat kenyataan tersebut timbullah kegemparan diantara kami.
Aku marah, sementara Delia pasrah. Delia tak mampu melawan orang tuanya, ia
terlalu patuh untuk melakukan hal tersebut. Padahal kami saat itu saling
mencintai. Hingga akhirnya mereka
menikah.
Aku
kecewa, sungguh kecewa menerima situasi itu. Kujalani hari-hari dengan membawa
duka lukaku sendiri, dari situlah aku mulai menulis. Dengan menulis kutumpahkan
semua kegetiran dan rasa putus asaku. Banyak koran dan penerbit yang tertarik
lalu mempublikasikan tulisan-tulisanku. Hingga 1 tahun lalu sebuah penerbit besar
mengontrakku untuk menjadi penulis mereka. Walaupun begitu, walaupun sudah 2
tahun tak bersama Delia dan telah banyak kutemui wanita lain. Hatiku tak mampu
berhenti mencintai Delia. Ditambah,
sudah delapan bulan belakangan suaminya tak pernah pulang, tak pernah lagi
menafkahinya lahir batin, tak tahu rimbanya di mana. Membuat
perasaanku diombang-ambing lagi. Orang yang kucintai menderita. Aku tak ingin
melihatnya seperti ini, aku ingin sekali membuatnya bahagia kembali. Melukis
senyum di wajah manisnya. Menerangi perasaannya.
“Papa!”
Sebuah
suara membuyarkan lamunanku. Suara lengking khas anak-anak. Kemudian sepasang tangan mungil
merangkul pundakku dari belakang.
“Keffi.”
Aku tersenyum menoleh ke arah pemilik tangan mungil itu.
Wajah
menggemaskannya berada dekat sekali dengan wajahku. Dia masih bergelayutan di
belakang pundakku. Keffi, bocah laki-laki 6 tahun ini keponakan Delia. Katanya
Delia menjadi orang tua asuh Keffi semenjak kedua orang tua Keffi meninggal
karena bencana longsor setahun lalu. Setauku dari cerita Delia, Keffi memanggilku
Papa karena Keffi merasa wajahku mirip dengan Papa-nya.
“Papa
kemana aja? Keffi kangen,” rungut Keffi.
“Hehe,
Papa kerja, sayang.” Kuciumi punggung tangannya yang putih bersih.
“Papa
ga kangen Keffi?”
“Oh,
kangen dong, kangen banget.”
Keffi
tampak senang mendengar jawabanku. Kepalanya bergoyang-goyang ke kiri-kanan.
Delia tersenyum melihat kami berdua. Ya, senyuman seperti itu yang kuinginkan
selalu menghiasi wajahnya.
“Eh,
mau jalan-jalan ga?” tawarku pada Keffi.
“Mauuu!”
tukasnya cepat. Dia melepaskan rangkulannya dan meloncat-loncat gembira.
Kupandangi
lagi Delia, dia mengangguk dengan senyuman yang lebih bahagia.
Tergurat
keceriaan di wajah Keffi ketika kami memasuki objek wisata Lembah Cetia, objek
wisata yang terkenal di Kota
Kabuk. Keffi sangat menyukai tempat ini. Kaki kecilnya berlari ke tepi pagar
pembatas. Pagar pembatas yang membatasi bibir jurang dengan lembah curam sedalam 20 meter. Aku dan Delia
mengikuti Keffi. Kami bertiga berdiri
berdampingan sembari menikmati pemandangan lembah yang
hijau.
“Kamu
. . . terlihat letih?” Delia berkata.
“Hm?”
Kupandangi Delia, lalu menghela nafas, “biasa, masalah tulisan.” Kuamati Keffi
yang berjinjit mendongakkan kepalanya melihat pemandangan lembah dari pagar
pembatas.
“Selalu ya,” sambung Delia.
“Hehe,
itulah kehidupan.”
“Ya
. . .” Delia menjawab pendek, kemudian terdiam.
Lalu
kami bertiga berpindah ke sebuah kafe. Kafe yang dibangun menjorok di atas jurang ini menyuguhkan
pemandangan lembah yang luar biasa. Setelah memilih meja dan memesan, kami
bertiga duduk. Keffi masih terlihat senang, kepalanya terus bergoyang-goyang
lucu.
“Ini
tempat favorit kita,” aku berkata pada Delia.
“Ya,
tempat favorit kita dulu,” jawab Delia.
“Aku
nembak kamu sehabis kita lulus SMA di sini,” lanjutku menyeringai.
“Hahaha,
jangan memulai ya,” sanggah Delia tersipu.
“Fakta
bukan?”
“Iya
sih, tapi- . . . tapi semua udah berubah.” Wajah Delia kembali muram.
“Iya,
aku ngerti. . . Sangat ngerti, kadang masa lalu cukup menyenangkan jika
dikenang . . . itu saja . . . Sudahlah, semua bakal baik-baik kok,” hiburku.
“Andai
waktu bisa diputar ulang.”
“Delia,
ga perlu menyesali apapun.”
“Kamu
ga mengerti, coba kamu- . . . .” Suara Delia tercekat. Matanya berkaca-kaca, kemudian dia
tertunduk.
Suasana berubah beku. Keffi
hanya memandangi kami, kepalanya tak berhenti bergoyang.
Delia bersuara kembali. “Maafkan
aku, aku ga bermaksud- . . . .”
“Ga
apa-apa kok,” sela ku
cepat, “aku
maklum, masalah yang kamu hadapi sekarang pasti sangat berat.”
Delia
terdiam sejenak. “Terimakasih sudah membawa kami kesini, dan menjenguk kami,”
katanya pelan.
“Oh,
ahaha . . . jangan begitu, aku senang melakukan ini kok.” Ku belai-belai kepala
Keffi lembut.
Delia
memandangi Keffi yang sedang kubelai. “Berapa lama kamu disini?” tanya Delia.
“Aku
belum tau, mungkin 2 minggu . . . kepalaku mau meledak rasanya jika kupaksakan
menulis,” kataku tersenyum.
“Selalu ya,” sahut Delia. Matanya tidak berkaca-kaca lagi.
“Hahaha
. . . sejak kapan kata ‘selalu ya’ itu jadi trademark-mu?”
Delia
tidak membalas candaanku. Dia hanya memandang sendu. Tak lama ia merogoh sesuatu di dalam tas coklat
jinjing miliknya. Mengeluarkan dua buah buku bersampul merah dan biru.
“Mungkin
kau butuh ini.” Delia menyodorkan kedua buku itu padaku.
“Apa
ini?” Dahiku berkerut. Aku ambil kedua buku itu dari tangan Delia.
“Lupa
lagi, buku biru ini buku harianmu yang kamu kasih sebagai kado pas
pernikahanku, yang merah buku catatan panduan dan tips menulis bikinan kamu
sendiri.”
“Oh . . . oh iya, hehe,” kataku
sambil tertawa. Menyadari kembali buku-buku tersebut.
“Buku
catatan panduan dan tips menulis itu tiga bulan lalu ketinggalan di rumahku . .
. kamu sih, selalu pelupa,” terang Delia.
“Hehe.”
Kepalaku mengangguk-angguk meneruskan tawa dan kecerobohanku.
“Ini
juga.” Kali ini Delia menyodorkan seikat foto ukuran 3R.
Alisku
terangkat foto-foto yang terikat itu.
“Ini
foto-foto kita dulu, kamu kan penulis fiksi romansa, siapa tau dengan melihat
foto-foto mesra kita dulu malah dapet ide, hehe.” Delia tertawa renyah.
“Hahaha,
ada-ada aja ide kamu,
ya . . . ok, mudah-mudahan membantu.” Aku tersenyum.
Ya,
aku hanya ingin melihatnya tersenyum, melihatnya tertawa, melihatnya bahagia.
Aku hanya ingin melihat itu.
Waktu
berputar cepat, sepuluh hari mengalir
begitu singkat di Kota
Kabuk. Pikiranku serasa jernih kembali, dengan melihat keadaan Ibu, mengunjungi
Delia, menghabiskan beberapa hari dengannya, menambah warna kehidupanku yang
belakangan semu. Membuat inspirasi
dan keinginan untuk menulis menggumpal di kepala, apalagi setelah membaca buku
harian dan catatan panduan menulis yang kutulis sendiri. Sudah saatnya aku
balik ke Kota Limapad dan menumpahkan semua ide ini.
Sebulan
setelah liburan, tulisanku akhirnya kelar dan tinggal tahap edit oleh editor kesayanganku mbak Frida
Heliyanti. Sambil menunggu konfirmasi dari penerbit, kuhabiskan waktu di
apartemen dengan bersantai sembari melihat-lihat foto pemberian Delia. Baru
sekarang aku bisa melihat foto-foto itu, karena fokus dan kesibukanku pada
proyek buku pertama. Ya, sangat menguras banyak waktu.
Kulepas karet pengikat foto, kemudian menatap foto satu-persatu.
Banyak sekali foto lama kami, sedang berduaan, tersenyum, tertawa, bergembira,
di pantai, di sungai, di kafe Lembah Cetia. Ternyata juga ada foto-foto ku
bersama Delia dan Keffi. Tersenyum-senyum aku dibuatnya memandangi foto-foto
itu. Ada beberapa foto yang tidak kukenal. Fotoku bersama seorang bayi? Bersama
balita dan juga Delia? Fotoku pada acara launching
buku? Launching buku . . . ?
Ngiiiiiiiinngg!
Kepalaku
kembali berdenging. Kuusap keningku pelan.
Ngiiiiiiiinngg!
Ahk!
Aku mengerang kesakitan. Suara dengingannya makin kencang dan nyeri hebat
menyerang. Kupegangi kepala dengan kedua tangan.
Ngiiiiiiiinngg!
(“Papa
. . .”, “Keffi mau jalan-jalan.” “Ayo, sayang . . . papa akan bawa kamu
kemanapun kamu mau.” “Sayang.” “Delia.” “Aku menyayangimu.”)
Ngiiiiiiiinngg!
Memoriku
berputar, memutar peristiwa-peristiwa yang pernah kulalui.
(“Papa
. . . !” “Tenang sayang!” “Papaaaaaaa . . . !” Tidddiiiin, Braaak . . . !)
Ngiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiinngg!
Hosh,
hosh, hosh . . . nafasku tersenggal-senggal dan nyeri di kepalaku sirna
seketika. Aku tergolek di lantai. Hanya satu yang ada di pikiranku, Dokter
Asril, dia dokter saraf yang menangani sakit kepalaku.
“Amnesia
Retrograde,” ujar Dokter Asril. Dia menatapku dalam. “Atau lebih sederhananya
hilang ingatan temporer,” dia menambahkan, “delapan bulan lalu anda kecelakaan
motor . . . karena benturan serius di kepala, ingatan anda mengalami kemunduran
ke delapan tahun silam. Ya,
umur anda sebenarnya 32 tahun, bukan 24.”
Aku
terpana mendengar penjelasan dokter berkaca mata itu.
“Tetapi
untunglah sekarang ingatan anda sudah pulih sepenuhnya.” Tersungging senyum di
wajah dokter muda ini. “Selama delapan bulan
ini perkembangan anda lambat, sehingga membuat saya cemas, apakah ingatan anda
bisa kembali seperti sedia kala atau tidak? Apalagi istri anda, terlihat tak
sabaran dan memaksa anda untuk mengingat semua dengan cepat.”
“Is-
. . . istri saya?”
“Ya,
istri anda, Ibu Delia.”
Tergopoh-gopoh
aku berlari
keluar dari Rumah Sakit Mais tempat praktek Dokter Asril. Aku menjulurkan
tangan menghentikan taksi. Sebuah taksi berhenti, aku langsung melompat ke
dalamnya.
“Ke
W.O.W Tour, cepat ya!”
Perintahku pada sopir taksi.
Pikiranku
kembali memutar peristiwa delapan tahun lalu, di mana memori ingatanku hilang.
Berawal dari keputusan Delia menikahi laki-laki
mapan pilihan orang tuanya dengan
pilihan. Walau orang tua Delia tau bahwa aku dan Delia sudah lama berpacaran,
tetapi mereka tidak terlalu percaya pada komitmenku. Walau sudah mengantongi
gelar sarjana namun aku masih pengangguran. Setelah itu aku membawa kekecewaan
dan luka ini sendirian. Terlarut dalam keputus asaan, kutuang semua rasa
pedihku ke dalam tulisan. Tulisan-tulisanku mulai banyak beredar di koran dan
majalah, lalu sebuah penerbit mengontrakku untuk membuat sebuah novel. Novel
pertamaku meledak, diikuti kesuksesan yang tidak pernah kuduga.
Selama
dua tahun setelah putus dengan Delia, aku masih menjalani hidup tanpa ada
wanita yang mengisi hatiku, aku menenggelamkan diri ke dalam pekerjaan dan
tulisan-tulisanku. Kemudian ketika proses pengerjaan buku keduaku, aku mendapat
kabar bahwa Delia bercerai dengan suaminya. Dari seorang sahabat kudengar bahwa
Delia menjadi pemurung sejak perceraiannya. Perasaanku kembali bercampur aduk,
karena Delia menderita. Aku putuskan kembali mendekatinya, sambil berharap bisa
menghapus duka laranya. Satu tahun kemudian kami putuskan menikah, lalu
lahirlah seorang anak manis yang kuberi nama Keffi. Kehidupanku terasa komplit
dan nyaris sempurna waktu itu. Buku kedua ku kembali mencetak hits(walau tidak sesukses buku pertama),
buku ketiga tidak terlalu baik penjualannya.
Hingga
akhirnya delapan bulan lalu buku
keempatku launching. Usai launching
yang cukup semarak itu,
aku pulang dengan rasa gembira teramat sangat dan mengajak Keffi jalan-jalan
dengan motor untuk membagi perasaan ini. Hingga akhirnya kecelakaan itu
terjadi.
(“Papa
. . . !” “Tenang sayang!” “Papaaaaaaa . . . !” Tidddiiiin, Braaak . . . !)
“Sudah
sampai, pak.” Sopir taksi membuyarkan lamunanku.
“Tunggu
sebentar, ya,” kataku.
Segera
aku turun dari taksi. Tergesa-gesa gelisah memasuki kantor W.O.W Tour, membeli tiket
ke Kota Kabuk. Dengan menggunakan pesawat, hanya 15 menit waktu tempuh Limapad
ke Kabuk.
“Ke
bandara, cepat!” aku berseru ke sopir taksi, setelah kembali dari membeli
tiket.
Ya,
delapan bulan lalu aku kecelakaan motor. Motorku menyerempet truk semen yang
lepas kendali karena remnya blong. Membuat tubuhku dan Keffi terpelanting jauh
ke rerumputan tepi jalan. Untung Keffi mampu kulindungi dari benturan, karena
sesaat sebelum menyerempet truk, aku memeluknya erat. Sehingga Keffi hanya
mengalami luka minor, begitu kata Dokter Asril tadi. Sedangkan aku mengalami
benturan cukup keras, terutama di bagian kepala, helm ku sampai retak dibuatnya
dan kepalaku mengalami pendarahan dalam. Banyak memar di tubuhku. Setelah
operasi dan sadar, dokter mengidentifikasi keadaanku, dan aku di nyatakan
mengalami Amnesia Retrograde. Delia sangat syok mendengar kenyataan tersebut,
begitu juga ibuku. Namun, mereka diyakinkan oleh Dokter Asril untuk membantu mendorong
pemulihan ingatanku. Maka dilakukanlah beberapa penyesuaian skenario cerita agar
membantu pengembalian ingatanku. Termasuk cerita suami Delia yang hilang tak
bertanggung jawab, Keffi yang menjadi keponakan Delia, dan proyek ‘naskah buku
pertama’-ku, padahal itu adalah sub-proyek buku keempat. Tiga bulan awal
pemulihan dipenuhi rasa frustasi karena ingatanku benar-benar tidak mengalami
perkembangan signifikan, membuat Delia depresi dan memaksaku untuk mengingat
semua yang pernah aku lalui delapan tahun ke belakang, tetapi cara tersebut
malah memperburuk pemulihanku. Akhirnya Delia menyerah dan mengikuti semua
saran Dokter Asril.
Kukeluarkan
ponsel dari saku celanaku, lalu mengontak Ibu.
“Ibu,
ingatanku sudah kembali,” aku berkata lembut.
Ibu
terdiam sejenak dibalik sana, “syukurlah, Nak,” jawab ibu kemudian. “Cepat temui Delia.”
“Iya,
aku sedang di jalan.”
Percakapan
singkat kami berakhir.
Setelah
itu kuhubungi editorku.
“Halo,
aku sedang sibuk! Ada apa!?” suara nenek lampir terdengar ketus.
Aku
tersenyum mendengarnya. “Terima kasih, Mbak,” kataku.
“Ha
. . . ?”
“Ya,
atas semua bantuan dan pengorbanannya . . . ingatanku sudah kembali.”
“Farri
. . .” dia hening, “uhuhuhuuu,” terdengar dia menangis,
“dasar anak sialan, bikin susah saja! Uhuuhuu . . . Di mana kamu? Udah temui
Delia!?”
“Ini
lagi perjalanan ke bandara,”
“Baiklah,
sukses ya.” Katanya mengakhiri.
Taksi
berhenti di depan lobi bandara. Segera aku melompat dan mengayuh kakiku cepat
menuju bandara. Setelah berbagai pemeriksaan, kunaiki pesawatku.
Aku
sudah berdiri di depan rumah bergaya modern minimalis itu. Kulangkahkan kaki
mantap menuju pintu, mengetuknya dan menunggu bidadari bernama Delia itu
membukanya. Akhirnya pintu terbuka. Menampakkan wajah terkejut Delia.
“Kapan-
. . .”
“Ingatanku
sudah kembali,” kataku tersenyum.
Delia
langsung menutup mulutnya, matanya berkaca-kaca.
“Terima
kasih.” Kulontarkan kata itu sambil memeluknya, “atas pengorbananmu, dan aku
minta maaf atas apa yang terjadi delapan bulan ini . . . .”
Delia
membalas pelukanku erat. Kuarasakan ia menenggelamkan kepalanya di pundakku
sambil menangis.
“Aku
ada satu permintaan padamu,” kataku
lagi,
“setiap kamu ada
kesempatan, tolong potret aku dan kita . . . karena jika aku ‘tersesat’ lagi,
berikan saja foto-foto itu padaku agar aku cepat kembali.
“Dan,
satu lagi Delia . . . , aku menyayanginmu.”
. . . THE END
Tackey
20 November 2013, Surau Ujuang.
Komentar
Posting Komentar