SEPENGGAL KISAH TENTANG LA (GADIS BERPONI)
“Aku
kerumahmu besok,” kataku malam itu.
La tak
bersuara di seberang sana. Aku menunggu sahutannya.
“Ya...
boleh...” ucapnya lambat. Terdengar seperti berbisik menurutku. Walau begitu,
aku cukup senang dia memberi ijin kepadaku untuk menemuinya.
“Terima
kasih... besok akan kukabari,” aku berkata lagi.
“Sama-sama,”
jawabnya pelan.
Tut... aku menutup panggilan yang
sebenarnya membosankan itu. Hampir 2 jam kami berbicara, hanya aku yang
mendominasi. Tetapi, sebagai seorang cowok, aku harus memimpin hubungan ini.
Ya, kami harus memiliki kejelasan. Aku sudah mempersiapkan diri, untuk segala
resiko yang akan terjadi besok, namun aku tetap berharap yang terbaik.
Esok harinya,
tepat pukul tujuh malam aku pandangi sebuah kado persegi seukuran kotak gelas.
Bersampul pink dengan motif boneka
beruang, tanpa pita. Kado itu bertengger di atas meja kamar di samping tempat
tidurku. Aku terus menatapnya. Ada perasaan kecut melanda hatiku ketika menatap
benda itu. Mudah-mudahan ini bukan kado terakhir buat La, aku bergumam dalam
hati. Setelah itu aku raih kado tersebut dan menentengnya, berjalan keluar kamar
menuju halaman samping tempat motorku terparkir. Kubuka jok motor, kuselipkan
kado pink itu didalam jok, ternyata
muat. Kemudian kututup kembali jok, memakai helm, menghidupkan motor dan melaju
bersamanya.
Aku berbelok
dari jalan, melewati jembatan kecil dan berhenti di halaman rumah La. Melalui
jendela rumahnya yang cukup besar, mataku dapat melihat La sedang duduk di
kursi tamu di ruangan depan rumahnya. Cahaya lampu ruang tamu La cukup baik
sehingga membantu memperjelas penglihatanku. La tampak sedang bercengrama
dengan seorang gadis sebayanya. Mungkin sepupunya, seperti yang pernah ia
ceritakan kepadaku. La menoleh kearahku, sementara aku turun dari motor. La
berjalan kearah pintu masuk yang terbuka, akupun berjalan mendekati terasnya.
La kemudian tersenyum, senyuman yang tak pernah kulihat secara langsung sebulan
ini. Jantungku berdebar, berdesir, berdenyut kencang disambut senyum yang
selalu kumimpikan itu. Namun kurasa La tersenyum juga karena melihat
penampilanku malam ini. Dengan jaket hitam dengan dalaman kaos putih dan celana
denim hitam, kurasa aku cukup ganteng malam ini. Hehehe...
“Hai,”
sapanya lembut. Sambil menyenderkan bahunya dikusen pintu.
“Hai,”
kubalas. Tangan kananku sedikit terangkat, sedetik kemudian turun kembali.
“Masuk...” La
berkata ramah. Tidak terdengar lemah ataupun terpaksa seperti ketika kami
berbicara melalui HP.
“Ga usah,
disini aja...” Aku menunjuk kursi dan meja di teras La, di depan jendela ruang
tamunya.
La mengangkat
alisnya heran. Aku mengangguk meyakinkannya.
“La, aku
pulang dulu ya...” Gadis yang bercengrama dengan La tadi berjalan keluar dari
pintu.
“Oh iya...
ati-ati ya...” La melambaikan tangannya pada gadis tadi, dan ia membalas
lambaian La kemudian berjalan melewatiku sambil tersenyum. Setelah gadis itu
berlalu, La berjalan kearah kursi di teras dan duduk disana.
“Duduk...”
kata La. Tangannya terjulur mempersilahkan ku untuk duduk.
Akupun dengan
patuh mengikuti perintah La. Kami duduk berdampingan di kursi kayu berlengan dengan
meja persegi panjang kecil sebagai penengah. Aku memandangi La. La mengenakan cardigan hitam malam itu, kaos pink terlihat dibalik cardigan. Celana legging krem keperakan membalut kakinya. Rambut panjang La diikat
kebelakang dan terjulur dipunggungnya. Sebenarnya La biasa saja dengan
penampilan itu, hanya karena ada sebuah rasa yang lebih bersemayan di dadaku,
yang menyenangkan dan memabukkan ini, membuat La terlihat sangat memukau
bagiku. Apalagi poni rambutnya itu, ya poni rambut yang selalu membuatku tak
bisa berkata apa-apa. Ditambah bumbu rindu yang sudah sebulan ini kutahan.
“Kenapa...?”
La memecah lamunanku sambil tersenyum.
“Eh,” aku
tersadar, “kamu manis malam ini.”
Senyum La
makin lebar mendengar ocehanku. Dia mengubah posisi dagunya yang bertumpu pada
tangan, entah karena tersipu, atau malu atau entah karena apa.
“Makasih,”
ujar La, masih dengan senyuman. Aku ikut tersenyum.
Dan, entah
sejak kapan suasana malam itu mengalir tenang seperti sebuah sungai jernih yang
dangkal. Kami terus berpandangan dan bertukar kata. Kadang terselip suara tawa
kecil La diantara kami. Aku tak ingat apa saja yang kami bicarakan, namun percakapan
kami seolah melantun lembut seperti tembang musik klasik yang mendayu-dayu.
Bahkan jika ada ledakan bom di jalan di depan rumah La waktu itu, aku yakin tak
akan mampu mengalihkan perhatian kami.
Sampai
kemudian. “Kita jalani aja seperti ini dulu,” jawab La pelan, ketika aku
menanyakan arah hubungan kami. Matanya seperti menyembunyikan sesuatu yang aku
tak tau.
Sebenarnya
aku tak puas jawaban itu. Masih terasa aroma ketidakjelasan. Mirip ucapan-ucapannya
di HP. Tetapi aku juga tak ingin melanjutkan kata-kataku. Entah kenapa diriku
yang berkata akan ‘siap menerima segala resiko’ sebelum berangkat tadi, setelah
melihat langsung ekspresi La, diriku berubah menjadi ‘takut menerima segala resiko’
jika aku memaksa La. Apalagi resiko terburuk. Ya, aku takut La pergi dari
sisiku. Aku masih terdiam memandang La. Berharap aku bisa membaca sebuah
kejelasan dari bola matanya yang menghanyutkan itu, namun aku tak bisa, tak
bisa menangkap apapun.
Pukul
sembilan kurang seperempat malam, kulihat angka digital di layar HP. Aku
menatap La.
“Aku pulang
ya.”
La mengangguk
pelan, “Ya.” Ia mengangkat dagunya yang masih bertumpu.
Aku berdiri,
La ikut berdiri. Aku berjalan menuruni teras dan menuju motor. Kusorongkan
kunci motor ke jok. Membuka sadel dan mengambil kado pink yang kupersiapkan tadi. Aku menatap benda itu. Memoriku
memutar peristiwa seminggu yang lalu. Saat aku bersama dua pengawal setia, Awan
dan Alil, memasuki toko aksesori khusus cewek. Sebelumnya kami sempat
sikut-sikutan menentukan siapa yang harus masuk duluan. Akhirnya Alil mengalah
dan maju. Setelah berkeliling menjelajahi toko yang cukup luas itu, aku bingung
menentukan pilihan kado untuk La. Boneka? Terlalu biasa. Kalung? Cincin? Pengen
sih, tapi kantongku yang ga pengen. Jam Weker? Kurasa tidak. Entah siapa yang
berinisiatif duluan, tetapi pandangan kami bertiga sudah terpaku pada kotak
musik merah berkilat itu. Mbak-mbak karyawan toko membuka lemari kaca tempat
kotak musik itu terpajang. Mengambil kotak musik itu dan membuka tutupnya,
terdengar alunan tonal merdu dengan cupid mungil berputar-putar di dalam kotak.
Langsung kuputuskan untuk memilih kotak musik itu sebagai hadiah untuk La.
Setelah dibungkus rapi dengan sampul pink
motif boneka beruang. Mbak-mbak karyawan toko itu menyerahkan kado itu ke
tanganku. Keluar dari toko, Awan mengeluarkan parfum roll-on-nya.
“Sini,”
katanya, menyambar kado itu dari pangkuanku.
Lalu memutar-mutar
tangannya membuat tulisan LA di permukaan kado dengan parfum roll-on tadi.
“Biar wangi,”
sambung Awan. Dia menyeringai padaku. Alil hanya tersenyum.
Aku ikut
tersenyum memandangi kado yang sekarang kupegang. Kuangkat kepalaku menatap La
yang masih berdiri di pinggiran teras, kemudian aku berjalan kearah La.
“Nih....”
Kusodorkan kado itu padanya.
“Apa ini?”
Kening La berkerinyit, antara heran dan sungkan.
“Perasaan hari
ini aku ga ulang tahun,” lanjut La.
Lalu kado itu
sudah berpindah tangan. Aku hanya tersenyum memandang wajah La, dan La
mendekatkan kado tersebut ke telinga lalu menggoyang-goyangnya penasaran.
“Hahaha...
lihat isinya nanti aja,” kataku tertawa.
Setelah itu
aku beringsut mundur, “aku pulang.” Senyuman belum lepas dari wajahku. La
melambaikan tangannya pelan lalu mendekap kado itu. Tak ada ekspresi berarti
yang kulihat dari wajahnya. Aku menaiki motor dan berlalu meninggalkan rumah La.
Membawa semua ketidakjelasan ini bersama angin. Tentang sepenggal kisah seorang
gadis berponi bernama La.
…The
End
Untuk mengenang sebuah malam di
bulan Januari, terutama sebuah malam di awal Februari 2008
Tackey
Menjelang Tengah Malam di Surau Ujuang, 13 November 2013
Komentar
Posting Komentar